Search

Tantangan Pembelajaran Al-Qur’an Masa Kini Menurut Quraish Shihab

Majalahaula.id – Kita tahu bahwa al-Qur’an merupakan kalamullah (firman Allah Swt) yang tidak akan berubah sejak masa turunnya hingga akhir zaman. Akan tetapi, penafsiran dan pemahaman terhadap al-Qur’an dapat berubah-ubah dikarenakan banyak faktor, termasuk karena perkembangan ilmu. Tentu saja, perubahan penafsiran ini menjadi suatu tantangan bagi pembelajar al-Qur’an untuk terus memberikan nuansa pemikiran baru tanpa menafikan pemikiran yang lama. Lalu bagaimana cara menghadapi tantangan tersebut? Apakah perubahan penafsiran memang diperlukan?

Tantangan pembelajaran al-Qur’an masa kini sangat bermacam-macam. Tantangan yang lebih besar itu menyangkut pemahaman kita tentang al-Qur’an, menyangkut bagaimana kita mengajarkan al-Qur’an itu untuk masyarakat kita.

Sejak dulu, mungkin sudah lebih dari 1000 tahun yang lalu, sudah ada ungkapan “al-alamu mutaghayyir wa kullu mutaghayyir hadits fal alamu hadits”, itu untuk membuktikan bahwa, sebenarnya ada wujud Tuhan yang melalui hukum-hukumnya terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat, bahkan dalam segala wujud.

Ini berarti bahwa, di manapun Anda berada, di Indonesia atau tidak di Indonesia, di bumi ini atau di tengah lautan bahkan di angkasa, pasti terjadi perubahan. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu tidak berubah. Kita berubah, pikiran kita berubah, dan yang tidak berubah itu adalah yang abadi.

Al-abad itu dalam bahasa al-Qur’an adalah yang tidak berpermulaan dan tidak berakhir”. Tidak berpermulaan dan tidak juga berakhir, itu al-abadiyyah. Sementara selainnya itu berpermulaan dan berakhir, apapun dan siapapun.

Yang jelas, yang tidak berubah itu adalah kalamullah (firman Allah Swt). Tetapi penafsirannya ada yang berubah. Mengapa demikian? Karena al-Qur’an memerintahkan setiap orang untuk memikirkan dan mempelajari al-Qur’an. Sedangkan, setiap orang bisa berbeda dengan yang lain akibat perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam dirinya. Misalnya seperti perkembangan ilmu, budaya dan lainnya bisa mempengaruhi.

Itu sebabnya, Ibnu Abbas Al-Aqqad menulis “Seandainya Sahabat Nabi hidup pada masa kita sekarang atau berlanjut kehidupannya pada masa kita sekarang, maka pasti pendapat-pendapatnya yang lama akan diubahnya sesuai dengan perkembangan zaman.” Inilah tantangan kita menghadapi sekian pemahaman.

Benar apa kata Zaki Najib Mahmud, bahwa kita sekarang mengahadapi ada yang baru dikemukakan oleh orang baru, ada yang baru tetapi sudah dikemukakan oleh orang yang lama (dia masih tetap baru sampai sekarang), ada yang lama dan masih dikemukakan sekarang dan ingin dipertahankan sampai sekarang.

Kita tidak ingin mengubah teks-teks al-Qur’an, tetapi kita berkewajiban mengubah penafsirannya sesuai dengan perkembangan masa kita, tanpa melanggar ketentuan-ketentuan agama. Inilah yang sulit kata Prof. Quraish Shihab. Misalnya, bagaimana kita memajukan sesuatu yang baru menurut pandangan kita, tetapi tidak melenceng dari garis-garis al-Qur’an.

Kita ingin memelihara turats, dalam hal ini apa yang dihasilkan oleh ulama-ulama kita masa lalu, dengan melakukan penyeleksian. Kalau baik dan lebih baik dari apa yang diajukan oleh orang sekarang, maka kita ambil. Sebaliknya, jika tidak maka jangan diambil.

المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ

Artinya: “Memelihara hal-hal lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus.”

Dalam hal ini, tentunya untuk memberikan sesuatu yang baru dan tidak melenceng itu, ada kaidah-kaidah yang harus dikuasai. Tanpa penguasaannya, kita akan mengemukakan sesuatu yang baru, tetapi ditolak oleh agama.

Prinsip pokok dalam konteks mempelajari atau pembelajaran al-Qur’an

Pertama, hendaklah kita sadar bahwa, tidak boleh ada suatu penafsiran yang bertentangan dengan ushuluddin. Semua yang bertentangan dengan ushuluddin kita tolak. Kedua, tidak boleh ada penafsiran yang bertentangan dengan bahasa yang digunakan pada masa turunnya al-Qur’an, dan tidak juga bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang disepakati.

Baca Juga:  Rawan Ditiru, Ketua Pergunu Jateng Ingatkan Dampak Buruk Tayangan Kekerasan di Media

Misalnya, apa arti sayyarah? Sayyarah sekarang artinya mobil, tetapi sayyarah tidak digunakan untuk makna mobil oleh al-Qur’an. Artinya, kalau ada seseorang yang menggunakan itu, maka kita tolak. Ada kaidah-kaidah kebahasaan yang disepakati bahwa, ada yang dinamai muannats majazi. Ada yang menafsirkan bahwa yang lebih dulu diciptakan Tuhan itu adalah perempuan, dalilnya misalnya ayat al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 1:

يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَآءً ۚ وَاتَّقُوااللّٰهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 1).

Kata Quraish Shihab, ini bertentangan dengan kaidah kebahasaan. Ada kata-kata dalam al-Qur’an yang bisa mengandung dua makna. Maka, kalau bisa digabung keduanya, gabunglah dia selama sesuai dengan kaidah. Tetapi, kalau tidak bisa digabung dan dua-duanya dibenarkan, maka Anda boleh memilih tapi jangan mempersalahkan yang lain karena dia tetap sesuai dengan kaidah kebahasaan.

Contohnya, misalnya dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ ۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِۢالْعَدْلِ ۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْ ۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَـقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْــئًا ۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَـقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِ ۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَآءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰٮهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰٮهُمَا الْاُخْرٰى ۗ وَ لَا يَأْبَ الشُّهَدَآءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْــئَمُوْۤا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰۤى اَجَلِهٖ ۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَ دْنٰۤى اَلَّا تَرْتَابُوْۤا اِلَّاۤ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَا ۗ وَاَشْهِدُوْۤا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌ بِۢكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

Kata Yudhaarra itu asalnya bisa yudhaarir dan bisa yudhaarar. Jika Anda baca yudhaarir, maka kaatibun jadi fa’il (subjek). Maka berarti, “Janganlah seorang penulis atau saksi merugikan mereka yang bertransaksi yang melakukan utang piutang”. Di sini larangan tertuju kepada notaris, penulis dan saksi-saksinya.

Baca Juga:  Yayasan Nurul Islam Pasirian Adakan Pelatihan Manasik Haji

Tetapi, kalau saya baca yudhaarar, maka kaatibun menjadi na’ibul fa’il. Maka, dia berarti, “Janganlah yang melakukan transaksi memberi mudharat kepada penulis atau saksi”. Dua-duanya bisa diterima dan kita tidak perlu bertengkar soal itu. Sebagian problema kita sekarang ini adalah, menolak penafsiran yang masih bisa diterima karena dia hanya memahami satu penafsiran.

Itu sebabnya, sebenarnya dalam konteks pembelajaran tafsir, kita harus lebih menekankan pada pengajaran tentang kaidah-kaidah tafsir daripada pengajaran tentang kandungan tafsir, karena kandungan tafsir bisa berubah.

Sekian banyak penafsiran masa lampau yang sudah out of date sekarang akibat perkembangan ilmu. Tetapi kalau kita pahami pembelajarannya menghadapi perubahan masa ini, pembelajarannya ditekankan pada kaidah-kaidah, maka itu akan lebih membantu menciptakan mufassir-mufassir baru.

Tidak hanya menukil yang lama-lama karen yang lama sudah berjasa. Dalam hal ini, harus bisa mengajukan tafsir baru tetapi tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan, tidak bertentangan dengan kebutuhan masyarakat kita sekarang.

At-Tadabbur dan At-Tilawah yang ditekankan al-Qur’an

Salah satu yang ditekankan oleh al-Qur’an dalam konteks pemahaman al-Qur’an adalah at-tadabbur dan at-tilawah, yaitu berusaha memahami, membaca, dan mengikuti dengan pengamalan. Berbeda dengan qira’ah karena hanya membaca (bisa dari teks atau tidak teks). Akan tetapi, kalau mau diikuti (pengalaman), maka;

اُتْلُ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ  ۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَاتَصْنَعُوْنَ

Artinya: “Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45).

Inilah yang ingin kita tekankan. Artinya, dalam konteks tilawah inilah, akhlak harus mencerminkan tuntunan-tuntunan al-Qur’an. Inilah makna tilawah yang sesungguhnya.

Perkembangan ilmu luar biasa majunya. Jika dilihat dari sejarah kemanusiaan misalnya mulai dari masa batu, masa tembaga, masa besi, masa modern, post-modern hingga sampai sekarang, ilmu terus berubah. Dan penemuan-penemuan terus-menerus bertambah dan bertambah.

Pada tahun 50-an menurut penelitian, setiap bulan ada satu penemuan baru. Kalau sebelumnya masa Renaissance, setiap 3 tahun baru ada 1. Melonjak tahun 50, sudah 1 penemuan setiap bulan. Tahun 2003 sudah 4 dan 5 penemuan setiap bulan. Tahun 2009 sudah 10 setiap bulan. Dan, buku dari hari ke hari makin kita kesampingkan, karena sekarang ada digital. Maka kita harus mampu mengikuti itu dalam konteks pembelajaran.

Baca Juga:  Tradisi Memasturkan Diri

Misalnya, apa yang Anda dengar dari saya, apa yang Anda baca dari suatu buku itu bisa dikatakan benar dan salah, bisa juga tidak ada istilah Anda katakan ini benar atau salah. Kalau saya berkata, “pemandangan di puncak indah”, apakah ucapan saya ini bisa dikatakan benar atau salah? Itu kan penilaian saya. Anda jangan berkata, “Anda salah”, jangan berkata “Anda benar”.

Tentunya, kalau Anda tidak setuju anda berkata, “Saya tidak anggap itu indah”, tapi jangan mempersalahkan. Begitu juga, kalau anda melihat seorang pemuda tampan atau gadis cantik terus Anda berkata Waduh dia cantik sekali, dia tampan sekali”, jangan berkata salah atau benar. Sebab, karena itu statement yang tidak mengandung kemungkinan untuk dipersalahkan.

Contoh lain. “Di tempat itu di bawah tanahnya ada minyak”, apakah bisa dipersalahkan atau bisa dikatakan benar atau tidak? Saya katakan bisa. Tetapi, untuk menyatakan itu benar atau salah, maka harus dibuktikan secara ilmiah bahwa memang ada minyak, tambang, emas dan lain-lain. Lalu kalau tidak dapat dibuktikan bagaimana? Apakah masih bisa saya katakan benar atau salah?

Seorang filsuf di Mesir Zaki Mahmud mengatakan, kalau itu tidak bisa dibuktikan bahwa itu benar atau salah kalau Anda tidak bisa membuktikannya dengan akal. Lalu, seandainya ada seorang yang dekat kepada Tuhan, dia mendapat isyarat-isyarat yang tidak dapat dibuktikan dengan pembuktian ilmiah sebagaimana yang dituntut oleh akal ilmiah, apakah apa yang diucapkannya itu Anda tolak atas dasar bahwa dia tidak dapat dibuktikan secara ilmiah?

Ternyata, ada yang langsung menolaknya, “Tidak! Itu tidak ilmiah, itu harus ditolak oleh akal”. Kalau kita berkata begini, ada hal-hal dalam kehidupan dunia ini yang pada akhirnya diakui kebenarannya oleh dunia, walaupun pada saat atau cara penemuannya tidak bersifat ilmiah.

Misalnya, Archimedes itu menemukan hukumnya melalui apa? Bukan melalui buku. Bahwa penemuan daya tarik bumi itu ditemukan melalui kebetulan, kata orang. Maka, sikap agamawan yang menggunakan daya kalbu dan daya akalnya tidak akan menolak itu secara mentah-mentah, tetapi kalau tidak bertentangan dengan akal, maka dia akan mempertimbangkannya untuk menerima tanpa menolaknya.

Tentu saja, di sini kita berbeda dengan para filsuf. Kenapa? Karena kita menggunakan akal dan hati kita. Kita menggunakan otak dan kalbu kita. Otak dan kalbu itu kalau menurut ilmuwan sekarang fungsinya di otak kita. Terlepas dari perbedaan pendapat soal itu, tetapi yang jelas pesan ulama-ulama kita, “letakkanlah sedikit akal pada hati Anda supaya Anda tidak menyeleweng.”

“Hei yang bercinta!”, pakai akalmu juga walaupun akal tidak bisa menciptakan cinta, karena yang menciptakannya hati. Tetapi, letakkanlah sedikit akal. Begitu juga di akal, letakkan sedikit rasa sehingga Anda tidak mentang-mentang kalau tidak sependapat menyalahkan. Letakkan rasa. Itulah sikap kita dalam memahami dan mempelajari. Sederhananya, dalam konteks pembelajaran dan mempelajari, hendaknya menggunakan semua daya yang dianugerahkan Allah untuk mempelajari al-Qur’an. Wallahu a’lam bisshawab.

 

*) Alumni PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA