Majalahaula.id – Saat ini, perkawinan anak menjadi salah satu masalah sosial yang masih terjadi di Indonesia. Menurut data UNICEF, pada tahun 2022, prevalensi perkawinan anak di Indonesia adalah 10,7 persen, atau sekitar 1,8 juta anak perempuan berusia 10-17 tahun yang sudah menikah. Angka ini masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yang menetapkan bahwa tidak ada anak yang menikah sebelum usia 18 tahun pada tahun 2030.
Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi program pencegahan perkawinan anak (PPA) ini, Lakpesdam PBNU dan Fatayat NU melakukan beragam langkah. Di antaranya lokakarya perumusan logika program dan juga pelaksanaan seminar Capaian dan Strategi PPA. Kegiatan ini dilaksanakan 7-10 November 2023 di Hotel Mercure, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Seminar ini juga dirangkaikan dengan lokakarya pelingkupan desain (design scoping), pengembangan dan finalisasi desain Key Annual Achievement (KAA), dan pengembangan rencana monitoring, evaluasi, dan pembelajaran agar program berjalan sesuai harapan. Kami juga mengundang lembaga swadaya masyarakat, kementerian dan lembaga negara untuk berdiskusi bersama,” ujar Kepala Tim Program, Nurunnisa.
Hadir sebagai Narasumber pada seminar kali ini, Nur Hayati Aida, Direktur Program Rumah KitaB, Mega Puspitasari, peneliti dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Margaret Aliyatul Maimunah, Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Nur Djannah Syaf, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Badan Peradilan Agama, MA, perwakilan Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, perwakilan Direktur Keluarga Perempuan Anak Pemuda dan Olahraga Bappenas dan dari Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag RI, Agus Suryo Suripto.
Nur Hayati Aida, Direktur Program Rumah KitaB mengatakan, perkawinan anak merupakan salah satu masalah sosial yang masih terjadi di Indonesia. Ada berbagai faktor yang menyebabkan perkawinan anak di Indonesia, antara lain: faktor sosial budaya: Perkawinan anak masih dianggap sebagai hal yang normal dan wajar di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini karena perkawinan anak sering dikaitkan dengan nilai-nilai adat dan agama, serta sebagai cara untuk menjaga kehormatan keluarga. (Ful)