Search

Jogja Darurat Sampah: Pemerintah dan Masyarakat Harus Ubah Perilaku

Majalahaula.id – Aryo (26), seorang warga Caturtunggal, Depok, Sleman sempat kebingungan kala petugas sampah berhenti mengangkut sampahnya pada akhir Juli 2023 lalu. Ia biasanya membuang satu drum besar sampah setiap harinya. Sampah tersebut berasal dari konsumsi keluarganya dan penghuni 6 kamar yang indekos di rumahnya.

“Dari RT/RW sudah ada info kalau pengambilan sampah akan dibatasi, warga diimbau mengolah sampah sendiri,” ujar Aryo Rabu (27/9/2023).

Untuk mengatasi situasi darurat ini, ia berinisiatif memilah sampah keluarganya. Sampah anorganik dibersihkan dan diberikan ke pengepul. Sementara sampah organik ia urai sendiri.

Aryo menimbun sampah organik dengan tanah pada sebuah pot berdiameter 40 sentimeter. Ulat dan cacing dimasukkan ke pot untuk membantu proses penguraian.

Baca Juga:  Pemerintah Imbau Kantor Swasta WFH Selama KTT ASEAN di Jakarta

Ia melakukan secara mandiri. Tak ada dampingan dari RT/RW atau pemerintah setempat. Dengan memilah dan mengolah sampah, Aryo dan keluarganya bisa mengurangi sampah yang akan dibuang.

“Dari RT/RW cuma mengimbau untuk mengolah sampah, tapi tidak memberi tahu bagaimana caranya,” ujarnya.

Aryo menambahkan tak ada bank sampah di lingkungannya. Teknik pengolahan sampah yang ia lakukan berasal dari internet dan pengalaman ikut workshop.

“Tidak semua orang punya inisiatif seperti ini. Kalau yang tidak peduli, akhirnya buang sembarangan atau dibakar. Padahal sebenarnya ada banyak pilihan, cuma tidak terinformasikan,” tambahnya.

Sekjen Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI), Yuningtyas Setyawati (Tyas) menyebutkan, persoalan sampah harus dituntaskan dari hulu. Ia mengatakan masyarakat masih memandang semua sampah harus dibuang. Perlu ada perubahan mindset masyarakat agar memilah dan mengolah sampah karena ada sampah yang masih bisa dimanfaatkan.

Baca Juga:  Kemensos Salurkan Bantuan Atensi Kewirausahaan Lansia di Sidrap

“Habit itu tidak bisa diubah dengan cepat, seperti membalik telapak tangan, tetapi butuh proses,” ujar perempuan yang juga aktif di Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM.

Para pemangku kepentingan perlu membangun sebuah sistem untuk mengubah mindset ini. Sistem juga harus menyediakan fasilitas dan sarana pengelolaan sampah, mulai dari truk sampah hingga tempat pembuangan yang terpilah.

Tyas mencontohkan pembuangan dan pengolahan sampah di Jepang yang diangkut bergiliran berdasarkan jenis sampah. Jumlah sampah dibatasi per rumah, jika melebihi kuota, maka akan didenda.

“Nah pemerintah daerah perlu memikirkan sebuah sistem yang membuat masyarakat sadar bahwa mengelola sampah itu harus diawali dari rumah tangga masing-masing,” pungkasnya.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA