Majalahaula.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan menghapus sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). MK membeberkan sejumlah alasan menolak gugatan menghapus sistem zonasi PPDB.
Gugatan diajukan oleh warga Bekasi bernama Leonardo Siahaan, ditolak MK lantaran dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Ketua MK Anwar Usman menjelaskan, mahkamah berwenang mengadili permohonan pemohon. Kemudian pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Kesimpulannya, pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar saat membacakan amar putusan perkara Nomor 85/PUU-XXI/2023 dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (27/9/2023) dikutip dari okezone.com.
Pada bagian pertimbangan, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjelaskan karena permohonan a quo telah jelas, mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak.
Kemudian, Manahan mengatakan apabila dicermati, pemohon menghendaki agar ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003 perlu dimaknai supaya tidak menimbulkan diskriminasi dalam penerimaan siswa baru dengan menggunakan sistem zonasi.
Menurut mahkamah, kata Manahan, sistem zonasi adalah salah satu cara penerimaan peserta didik baru yang menggunakan pembatasan wilayah yang dikaitkan minimal dan daya tampung sekolah.
Oleh karena itu, apapun pilihan sistem dalam penerimaan peserta didik baru, termasuk dengan menggunakan cara lain seperti jalur afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan/atau prestasi adalah hanya sebuah metode di dalam penatalaksanaan dari sebuah sistem penerimaan peserta didik baru.
Karenanya, menurut mahkamah, sesungguhnya dalil pemohon tidak terdapat keterkaitan dengan isu konstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003.
Sebab, ketentuan dalam norma Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003 telah memerintahkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
“Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih jauh karena permasalahan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003. Dengan demikian, menurut mahkamah norma Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 telah sejalan dengan semangat dan tujuan negara sebagaimana dinyatakan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945,” jelas Manahan.
Lebih lanjut, Manahan menjelaskan berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil pemohon perihal ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003 menimbulkan perlakuan yang diskriminatif terhadap penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Melainkan jika yang dipersoalkan pemohon itu benar, kata dia, hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 11 ayat (1) UU 20 tahun 2003.
“Oleh karena itu, dalil Pemohon perihal pemaknaan terhadap Pasal 11 ayat (1) UU 20/2003 yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagaimana termaktub dalam petitum permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Manahan.
Leonardo dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranva pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi dan melarang penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi atau kebijakan lainnya yang menimbulkan kesulitan peserta didik memperoleh pendidikan.