Majalahaula.id – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta meminta berbagai aktivitas politik praktis menjelang Pemilu 2024 di provinsi ini tidak membawa nama, lambang, maupun fasilitas NU. Hal tersebut tentu sebagai bagian dari upaya memastikan bahwa jamiyah ini tidak digunakan oleh pihak tertentu demi kepentingan jangka pendek.
“Kalau ada (membawa nama, lambang, dan fasilitas NU) akan kami ingatkan atau tegur,” kata Ketua PWNU DIY KH Ahmad Zuhdi Muhdlor, Senin (19/09/2023). Dia mempersilakan para pengasuh pondok pesantren berlatar belakang NU di DIY menyampaikan arah dukungan politiknya sepanjang tidak menggunakan identitas atau nama besar NU.
Menurut Kiai Zuhdi, hal itu sesuai arahan dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf terkait larangan menggunakan nama organisasi untuk kepentingan politik praktis, khususnya mendekati Pemilu 2024. Sikap tersebut, kata dia, segaris dengan hasil keputusan Muktamar ke-28 NU di Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak pada 1989 yang tertuang dalam 9 pedoman berpolitik warga NU. “NU menggariskan apa pun aktivitas politik jangan membawa lambang-lambang NU. Soal mau ke mana aspirasi warga monggo enggak masalah tapi jangan menggunakan fasilitas NU, lambang-lambang NU. Jadi silakan bermain secara ‘fair’,” tutur dia.
Kiai Zuhdi tidak heran jika banyak pihak yang terlibat dalam aktivitas politik praktis tergiur membawa nama NU karena merujuk hasil survei lembaga tertentu jumlah warga NU hampir 60 persen dari umat Islam di Indonesia. Karena survei terakhir yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Agustus 2023 menunjukkan jamaah NU naik signifikan dari 27 persen pada Agustus 2005 menjadi 56,9 persen pada Agustus 2023.
Oleh karena itu, menurut Kiai Zuhdi, mencatut atau mengklaim nama besar NU untuk menggaet dukungan politik praktis pihak tertentu sama dengan mengerdilkan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. (Ful)