Majalahaula.id – Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, tidak lepas dari peran pondok pesantren. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab, Banyuwangi.
Pondok pesantren yang berada di Dusun Kaligoro RT.01 RW.04 Sukamaju Kepundungan Srono, Banyuwangi, Jawa Timur ini didirikan oleh KH Dimyathi Asy Syafi’i pada tahun 1935 M. Selain mendirikan pesantren, KH Dimyati, panggilan KH Dimiyati Asy Syafi’i, juga dipercaya sebagai Rois Syuriyah NU Cabang Blambangan, Banyuwangi pada 1944 M.
Pertama kali berdiri nama pesantren Nahdlatut Thullab bernama Darul Falah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berganti nama Nahdlatut Thullab. Perubahan nama pondok pesantren tersebut atas petunjuk dari KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama’ (NU).
Cikal bakal perubahan nama pesantren tersebut berawal dari keingina KH Dimyathi untuk mendirikan Madrasah Diniyah. Berdasarkan Petunjuk KH Hasyim Asy’ari Madrasah tersebut di beri nama Nahdlatut Thullab, yang di kemudian hari dinobatkan sebagai nama pesantren.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Pondok Pesantren Nahdlatut Thullab adalah salah satu pesantren yang dijadikan sebagai markas Laskar Hizbullah. Di pesantren ini para laskar Hizbullah mengatur strategi melawan kolonialisme Belanda. Santri yang belajar ilmu agama di pondok pesantren ikut terlibat dalam perlawanan tersebut.
Tepatnya pada masa perlawanan terhadap agresi meliter kedua penjajah Belanda. KH Dimiyathi mendapat seruan Resolusi Jihad dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang isinya adalah “hukum melawan dan mengusir Belanda fardu’ain”.
KH Dimiyati sebagai pengurus NU beserta Laskar Hizbullah berjuang berdarah-darah menghadapi Belanda. Dalam perjuangan tersebut KH Dimiyathi kehilangan tiga santri kesayangannya, gugur sebagai syuhada. Yaitu Alm. Husnan, Alm. Mashadi, dan Alm. Hamdan. Menurut Majalah Alfikr edisi 33, ketiganya gugur di tembak mati Belanda dalam pertempuran yang memakan waktu cukup lama.
Perlawanan demi perlawanan terus dilancarkan oleh KH Dimiyathi beserta santri-santrinya. Berbagai cara dilakukan oleh pihak Belanda untuk menangkap KH Dimiyati. Bahkan pesantren yang didirikannya di bakar oleh Belanda. Namun usaha Belanda untuk menangkap KH Dimiyati selalu gagal.
Belanda yang merasa terusik dengan gerakan KH Dimiyati tidak tinggal diam. Mereka terus melakukan pengejaran hingga KH Dimiyati berhasil di tangkap. Beliau di tahan selama 27 bulan sampai pertengahan 1949 M.
Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini hampir saja dieksekusi. Namun menurut beberapa cerita, ketika menejelang hari-hari eksekusi, dokumen-dokumen pidana yang dituduhkan kepada KH Damiyati hilang. Sehingga rencana eksekusi tidak pernah benar-benar dilakukan, sampai waktunya beliau dibebaskan karena Belanda tak lama dari itu terusir dari bumi Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, KH. Dimiyathi kembali merintis bangunan pesantren yang dulunya di bakar oleh Belanda. Meski yang tersisa hanya bangunan Surau. Kini, bangunan pesantren itu tetap kokoh berdiri menjadi simbol perjuangan pesantren melawan penjajah.