Majalahaula.id – Pondok Pesantren Kauman resmi didirikan pada bulan suci Ramadhan, tepatnya tanggal 27 Ramadhan 1424 H, atau 21 November 2003 di Desa Karangturi Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Tepatnya di kompleks Pecinan Kauman atau miniatur Tiongkoknya Rembang.
Awal berdiri pesantren ini hanya memiliki 3 santri putri dan 2 santri putra ini, oleh pengasuh sekaligus pendirinya yakni KH M Zaim Ahmad Ma’shoem diberi nama Pondok Pesantren Kauman yang disesuaikan dengan tempat pendirian pasantren ini.
Pria yang akrab disapa Gus Zaim ini bercerita, awalnya tidak berniat untuk mendirikan pesantren. Namun karena santri yang mengaji semakin banyak. Atas permintaan para alumni dan santri dirinya memutuskan untuk mendirikan pesantren. “Saya pindah di sini sekitar tahun 2000, Kala itu saya niatnya hanya pindah rumah bersama keluarga. Dari Ponpes Al-Hidayat, Soditan Lasem, kemudian saya hijrah dan membeli rumah Tionghoa di kawasan Pecinan, Desa Karangturi, Lasem,” kisah Gus Zaim.
Rumah berarsitektur Tionghoa yang dibelinya, didirikan pada tahun 1880. Kemudian, ia membeli rumah tersebut pada tahun 2001 lalu. “Rumah pesantren ini adalah rumah asli orang Tionghoa yang didirikan tahun 1880, dulu pemilik rumah bernama Go Ban San kemudian turun ke anaknya bernama Go Tieng Kiem dan akhirnya kami beli pada tahun 2001 lalu,” kata Gus Zaim.
Pendirian Pesantren
Layaknya sebuah pesantren baru, kesederhanaan serta kesahajaan banyak terlihat disana-sini, terutama kondisi infrastruktur, bangunan asrama santri masih berupa rumah-rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu atau sering disebut dengan lumbung. Mushlla yang terbuat dari bahan yang sama, disamping tempat jama’ah juga difungsikan sebagai sarana belajar mengajar, mengingat belum tersedianya tempat khusus pembelajaran.
Meskipun dalam kesederhanaan jumlah santri terus meningkat dengan pesatnya, kabar tentang adanya pesantren di kawasan pecinan (Komunitas China). Dari mulut ke mulut, respect dan respon positif terus berdatangan dari masyarakat sekitar, terbukti dengan adanya orangtua yang menitipkan anak-anaknya (baik putra maupun putri) untuk mendapatkan pendidikan di Pesantren ini.
“Saat itu saya hanya punya dua kamar. Tapi para alumni santri Al-Hidayat ingin menitipkan santrinya di kediaman kami. Akhirnya pada tahun 2005-2006 jumlah santri sudah mencapai 60 orang. Mau tidak mau saya harus membangun gotakan (kamar),” kisah Gus Zaim.
“Akhirnya saya beli lumbung padi dari desa untuk gothakan. Jadi kalau pesantren saya ini terkesan unik banyak lumbung padi, ini bukan maksud saya agar terlihat unik, tapi memang kebutuhan kami pada waktu itu,” papar pria kelahiran Rembang 1 Agustus 1965 ini.
Seiring dengan waktu, atas bantuan dari donatur, pesantren ini dapat dibangun. “Tahun 2007 ada seorang donatur yang mau menginfaqkan hartanya untuk pembangunan pesantren kami,” ujarnya.
“Jadi dari awal berdiri hingga tahun 2007 saya biarkan mengalir tanpa ada nama pesantren. Kemudian dari beberapa nama yang muncul, nama yang paling sering disebut adalah Ponpes Kauman. Jadi nama pesantren kami diberikan oleh masyarakat,” kata Gus Zaim. Dya