Search

Sebuah Historis dan Peristiwa Terjadinya Qurban Nabi Ismail

Majalahaula.id – Sudah jamak bahwa peristiwa kurban terjadi pada zaman Nabi Ibrahim ketika beliau hendak menyembelih anak pertamanya, yaitu Nabi Ismail. Al-Qur’an sudah menceritakannya secara komperensif peristiwa itu. Diceritakan dalam sejarah bahwa hingga Nabi Ibrahim berusia lanjut, beliau belum juga dikaruniai seorang putra oleh Allah Swt.

Padahal, putra yang beliau harapkan kelak akan meneruskan perjuangannya dalam menegakkan syiar ajaran Allah Swt di bumi. Meski begitu, beliau tidak putus asa untuk selalu berdoa kepada Allah. Bahkan, doanya diabadikan dalam al-Qur’an surah As-Saffat ayat 100:

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

Artinya: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh. (QS. As-Saffat [37]: 100).

Hingga akhirnya, melalui doa-doanya, impian beliau untuk memiliki seorang anak terwujud melalui istrinya yang kedua, yaitu Siti Hajar. Rupanya Nabi Ibrahim menikahi istri keduanya pada saat beliau melakukan kunjungan ke wilayah Mesir. Beliau yang dianggap sebagai tamu dihadiahi istri sesuai tradisi saat itu. Adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap tamu agung yang singgah ke Mesir diberi berbagai macam hadiah, termasuk seorang gadis cantik untuk dijadikan istri.

Tentu saja, pemberian hadiah ini berfungsi membangun dan memperkuat jaringan persahabatan dan persaudaraan. Dan, Nabi Ibrahim pun pulang dengan membawa istri kedanya ke wilayah Mekah untuk tinggal disana. Beberapa saat setelah pernikahan ini, sang akhirnya mengandung sebelum kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Ismail. Peristiwa ini juga direkam jelas dalam al-Qur’an surah As-Saffat ayat 101:

فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ

Artinya: Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). (QS. As-Saffat [37]: 101).

Alih-alih riang gembira, anugerah luar biasa ini ternyata tidak bisa dinikmati terlalu lama oleh Nabi Ibrahim. Bagaimana tidak! Beliau diperintahkan oleh Allah Swt. untuk segera kembali ke istri pertamanya, yaitu Siti Sarah, yang beliau tinggalkan di kota Jerusalem. Dengan segala berat hati dan kesedihan yang luar biasa, Nabi Ibrahim pun meninggalkan dua orang yang sangat ia cintai, yaitu Siti Hajar dan anaknya Ismail, di daerah Mekah dengan dibekali beberapa potong roti dan sebuah guci untuk diminum.

Baca Juga:  H Saifullah Yusuf Siapkan Kaderisasi Setiap Pekan

Selama ditinggalkan oleh suaminya, Hajar mengalami berbagai cobaan diantaranya kesulitan menemukan sumber air untuk diminum anaknya. Pencarian ini dilakukannya dengan cara berjalan cepat sebanyak tujuh kali dari Shafa ke Marwah. Peristiwa pencarian sumber air itu kemudian dilanggengkan dalam ibadah Sa’i yang merupakan salah satu rukun ibadah haji, yaitu lari lari kecil dari Shafa ke Marwah, dan sumber air itu kemudian menjadi sumber air abadi dan dinamai zamzam.

Hari berganti hari, setelah beberapa tahun, Nabi Ibrahim kembali ke Mekah untuk menemui istri dan anaknya tercinta. Nabi Ibrahim tentunya sangat gembira ketika berhasil bertemu dengan mereka, apalagi Ismail telah tumbuh besar menjadi anak yang sehat. Dalam riwayat, Ismail saat itu telah berusia kira-kira 6-7 tahun.

Belum lama menikmati pertemuan keluarga yang mengharukan dan membahagiakan itu, Allah Swt. memerintahkan sang ayah mengurbankan anaknya yang selama berpuluh-puluh tahun dinantikannya. Lahirnya perintah itu diawali oleh mimpi Nabi Ibrahim. Ia mendapat perintah dari Allah menyembelih putranya, Ismail.

Di kisahkan, mimpi pertama tidak langsung meyakinkannya untuk segera melaksanakan perintah itu. Akan tetapi, ketika menginap di Mina, sekali lagi beliau bermimpi yang sama. Baru ketika mimpi yang ketiga kalinya pada saat berada di Arafah beliau tergerak. Membawa perasaan yang galau antara mengikuti perintah Allah Swt., dan perasaan sayangnya kepada anaknya yang tercinta.

Ibrahim pun dengan sekuat hati dan berat hati memberanikan diri berbicara dengan Ismail. Di tempat yang berada beberapa puluh meter dari tempat tinggalnya, di Mina beliau berbicara. Meskipun pada saat itu, Ismail kecil menjawab dan menyatakan kesediaannya untuk dijadikan kurban sebagaimana perintah Allah Swt., Ibrahim sebagai seorang ayah tetap saja merasa risau.

Seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyambung kelangsungan keturunannya, tiba-tiba harus dijadikan kurban dan harus direnggut nyawa oleh tangan si ayah sendiri. Namun, ia sebagai seorang Nabi, pesuruh Allah dan pembawa agama yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, isteri, harta benda dan lain-lain.

Baca Juga:  Rachmat Gobel Ragukan Mafia Minyak Goreng

Tanpa membuang waktu, Nabi Ibrahim pun berangkat menuju ke Mekkah untuk menemui dan menyampaikan kepada puteranya apa yang Allah perintahkan. Ismail sebagai anak yang soleh yang sangat taat kepada Allah dan bakti kepada orang tuanya, ketika diberi tahu oleh ayahnya maksud kedatangannya kali ini, tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah.

Tak hanya itu, Nabi Ismail juga berpesan kenapa ayahnya yakni Nabi Ibrahim bahwa, pertama, aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah.” Kedua, agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya.”

Ketiga, “tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa pedihku.” Keempat, “sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya.”

Dengan perasaan gundah, Nabi Ibrahim memeluk Ismail dan mencium pipinya seraya berkata: Bahagialah Aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah.

Akhirnya, diikatlah kedua tangan dan kaki Ismail, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah parang tajam yang sudah tersedia dan sambil memegang parang di tangannya. Kedua mata Nabi Ibrahim yang tergenang air berpindah memandang dari wajah puteranya ke parang yang mengilap di tangannya, seakan-akan pada masa itu hati beliau menjadi tempat pertarungan antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang rasul di satu pihak yang lain.

Baca Juga:  Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf : Istighfar Senyampang Rajab

Dengan memejamkan matanya, parang diletakkan pada leher Nabi Ismail dan penyembelihan di lakukan . Akan tetapi apa daya, parang yang sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul dileher Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana diharapkan.

Kejadian tersebut merupakan suatu mukjizat dari Allah yang menegaskan bahwa perintah pergorbanan Ismail itu hanya suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sejauh mana cinta dan taat mereka kepada Allah. Ternyata, keduanya telah lulus dalam ujian yang sangat berat itu. Namun, Nabi Ibrahim telah menunjukkan kesetiaan yang tulus dengan pergorbanan puteranya untuk berbakti melaksanakan perintah Allah. Sedangkan Nabi Ismail tidak sedikit pun ragu dan bimbang dalam memperagakan kebaktiannya kepada Allah dan kepada orang tuanya, dengan menyerahkan jiwa raganya untuk dikorbankan.

Rupanya, Ismail merasa bahwa parang itu tidak bisa memotong lehernya. Ia pun berkatalah kepada ayahnya: Wahai ayahku! Rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat wajahku, cobalah telangkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat wajahku.Akan tetapi, parang itu tetap tidak berdaya mengeluarkan setitik darah pun dari daging Ismail walau ia telah ditelangkupkan dan dicoba memotong lehernya dari belakang.

Dalam keadaan bingung dan sedih hati, karena gagal dalam usahanya menyembelih puteranya, seketika juga datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya:

صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah Kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. As-Saffat [37]: 105).

Sebagai tebusan dan ganti dari nyawa Ismail pada saat itu, Allah Swt. kemudian lewat perantara malaikat Jibril memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih seekor kambing yang telah tersedia, dan segera dipotong leher kambing dengan parang yang tumpul di leher Ismail. Wallahu alam bisshawaab.

 

*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA