Majalahaula.id – Islam sangat menghormati ide kebebasan berkeyakinan. Rasulullah Saw. telah mendeklarasikan kebebasan berkeyakinan dalam Piagam Madinah (li al-yahudi dinuhum, wa li al-muslimin dinuhum). Terlihat secara eksplisit, prinsip kebebasan berkeyakinan merupakan aktualisasi dari QS. Al-Kafirun: 6, QS. Al-Baqarah: 256, QS.Yunus: 99 dan lain-lain. Ayat-ayat di atas merupakan bukti kuat bahwa Islam tidak membenarkan siapapun memaksa orang lain untuk menganut agama Islam.
Berbeda jika dilihat secara metodologis, spirit kebebasan berkeyakinan juga dijaga dalam berijtihad. Buktinya adalah, para ulama mengembangkan metode ijtihad yang sangat memperhatikan dan memuliakan kedudukan akal, seperti metode ijma’, qiyas, istihsan, maslahah, urf dan maqashid al-syariah.
Khusus metode ijtihad yang terakhir misalnya, maqashid al-syariah bukan sekedar konsep (yang terkenal dengan konsep kulliyat al-khams atau daruriyyat al-khams), tapi juga metode ijihad yang mandiri.
Ide dasar maqashid al-syariah adalah, memahami tujuan dari syariat Allah Swt. sebagai basis berijtihad. Setiap hasil ijtihad harus mengandung maslahat bagi kemanusiaan dan peradaban. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, maka hasil ijtihadnya patut dipertanyakan. Spirit itulah yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa min Ilm al-Ushul:
“Maslahah merupakan istilah yang intinya adalah keadaan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Yang kami maksudkan dengan maqashid al-syari’ah sebenarnya bukan ini, karena mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan makhluk adalah ketika menggapai tujuan-tujuannya. Yang kami maksudkan dengan maslahah di sini adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara’ untuk makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.”
Statemen atau pernyataan al-Ghazali itu sangat penting diberi garis bawah, bahwa maqashid al-syariah bukan sekedar maslahat. Di dalam maqashid pasti ditemukan kemaslahatan, namun maslahat sendiri tidak selalu obyektif dari syariat Islam.
Karena itu, al-Ghazali menyampaikan lima tujuan disyariatkannya Islam bagi manusia, yaitu: menjaga agama (hifdz al–din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl) dan menjaga harta (hifdz al-mal).
Al-Syatibi misalnya membangun konsep maqashid al-syariah dalam bentuk yang lebih jelas, meski ia menyebutnya dengan beragam nama, seperti al-maqashid al-syar’iyyah fi al-syari’ah atau maqashid min syar’i al-hukm, selain maqashid al-syari’ah itu sendiri.
Tak hanya itu, al-Syatibi tegas berpendapat bahwa syariat ini (Islam) bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat (hadzihi al-syari’at…..wudhi’at li tahqiqi maqashid al- syari’i fi qiyam mashalihihim fi al-din wa al-dunya ma’an).
Artinya, dengan kata lain, hukum-hukum (Islam) disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba-hambanya (al-ahkam masyru’atun li mashalih al-ibad). Al-Syatibi yakin bahwa setiap kewajiban (taklif) yang dibebankan Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Semua hukum Allah Swt. pasti memiliki tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama artinya dengan “membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan” (taklif ma la yutaq) atau membebankan sesuatu yang tak ada gunanya.
Substansi maqashid al-syari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif Tuhan dapat berwujud dalam dua bentuk. Pertama, dalam bentuk hakiki yakni manfaat langsung dalam arti kausalitas. Kedua, dalam bentuk majazi yakni bentuk yang merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan. Kemaslahatan itu, oleh al-Syatibi dapat dilihat pula dari dua sudut pandang. Pertama, maqashid al-syari’ (tujuan Tuhan) dan, kedua, maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf).
Rupanya, Al-Syatibi membangun teori maqashid dengan tiga cara substansial. Pertama, maqashid yang awalnya bagian dari kemaslahatan mursalah (al-masalih al-mursalah) dijadikan sebagai bagian dari dasar-dasar hukum Islam (mabadi’ al-ahkam al-syar’iyyah).
Jika sebelumnya, maqasid termasuk dalam kategori kemaslahatan-kemaslahatan lepas, yang tidak disebutkan secara langsung dalam nash, dan tidak pernah dinilai sebagai dasar hukum Islam yang mandiri, maka al-Syatibi menempatkan maqashid sebagai metode ijtihad yang mandiri. Jadi, al-Syatibi menilai maqashid merupakan pokok-pokok agama (ushul al-din), kaidah-kaidah syariah (qawaid al-syariah) dan keseluruhan keyakinan (kulliyyat al-millah).
Kedua, maqashid dalam arti hikmah dibalik hukum kini menjadi maqashid sebagai dasar bagi hukum. Berdasarkan pondasi dan keumumam maqashid, al-Syatibi berpendapat bahwa sifat keumumam (al-kulliyyah) dari keniscayaan (daruriyyat), kebutuhan (hajiyyat) dan kelengkapan (tahsiniyyat) tidak bisa dikalahkan oleh hukum parsial (al-juz’iyyat). Al-Syatibi juga menjadikan pengetahuan tentang maqashid sebagai persyaratan untuk kebenaran penalaran hukum (ijtihad) dalam seluruh levelnya.
Ketiga, dari ketidakpastian (zanniyyah) menuju kepastian (qath’iyyah). Al-Syatibi mengusulkan kepastian (qath’iy) sebagai dasar epistemologi sumber hukum Islam, yang bersifat dhanniy (ketidakpastian) tidak layak dijadikan pegangan. Karena itu, al-Syatibi membuktikan kepastian proses induktif (istiqra’i) yang dia gunakan untuk menyimpulkan maqashid itu.
Jadi, maqashid syariah dibangun di atas premis bahwa Tuhan melembagakan syariah (hukum-hukum) demi mashalih (kebaikan) manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut al-Syatibi, doktrin maqashid al-syariah merupakan suatu usaha untuk menegakkan maslahah sebagai unsur esensial bagi tujuan-tujuan hukum.
Maqashidal- syariah dapat diklasifikasi dengan berbagai cara, termasuk dengan melihat dimensi-dimensinya. Pertama, maqashid ditinjau dari tingkatan-tingkatan keniscayaan (levels of necessity). Klasifikasi ini dapat disebut sebagai klasifikasi tradisional, sebagaimana dikenalkan oleh al-Juwaini, al-Ghazali dan al-Syatibi.
Al-Juwaini dalam al-Burhan fi Ushul al-Fiqh mengenalkan lima tingkatan maqashid, yaitu: (1). Keniscayaan (al-daruriyyat/essensial), (2). Kebutuhan publik (al-hajah al-ammah), (3). Perilaku moral (al-makrumat), (4) Anjuran-anjuran (al-mandubat); (5) Apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus. Al-Juwaini menyatakan bahwa, maqashid hukum Islam adalah menjaga (al-ishmah) keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.
Al-Ghazali (murid al-Juwaini) mengembangkan teori gurunya dan mengurutkan kebutuhan seperti berikut ini: (1). Agama; (2). Jiwa; (3). Akal; (4). Keturunan; (5). Harta. Jika al-Juwaini menggunakan istilah al-ishmah (penjagaan), maka al-Ghazali mengenalkan istilah al-hifdz (perlindungan).
Dalam implementasi praktis maqashid ini, al-Ghazali memiliki aturan fundamental yang
didasarkan urutan kebutuhan bahwa kebutuhan pada tingkatan lebih tinggi harus mendapatkan prioritas di atas kebutuhan pada tingkatan lebih rendah, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut menimbulkan implikasi yang bertentangan dalam kasus praktis.
Al-Syatibi membagi maqashid atau tujuan syariah menjadi tiga tingkatan. Pertama, maqashid primer (daruriyyat). Kategori ini merupakan kebutuhan pokok atau dasar yang harus ada. Jika tidak, akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan daruriat ini adalah sasaran dibalik setiap hukum Ilahi.
Kedua, maqashid sekunder (hajjiyyat/complementary). Kebutuhan manusia yang harus tersedia, tetapi jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam kelangsungan hidup manusia. Ketiga, maqashid tersier (tahsiniyyat/desirable). Maqashid tahsiniyyat ini merupakan kebutuhan yang sifatnya mewujudkan kenyamanan manusia. Jika tidak tersediapun, kehidupan manusia tetapi berjalan seperti biasa karena sifatnya yang memperindah maqashid pada tingkatan sebelumnya.
Maqashid al-daruriyyat ini dimaksudkan untuk menjaga lima hal pokok (disebut daruriyyat al-khamsah atau ushul al-khamsah), yaitu: Pertama, hifdhu al-Dhin (protection of religion/memelihara agama), seperti larangan untuk murtad (5:217), kewajiban untuk berbuat baik dan menyiarkan (dakwah) agama. Belakangan, menjaga agama ini diinterpretasikan ulang sebagai kebebasan beragama (freedom of faith), berdasarkan ayat tiada paksaan dalam beragama (QS, 2:256).
Kedua, hifdhu al-nafs (protection of life/memelihara jiwa), seperti larangan untuk membunuh orang lain (4:29, 92, 5:32, 6:151, dan 17:31, 33). Dalam bahasa modern, perlindungan jiwa ini diterjemahkan menjadi hak untuk hidup. Ketiga, hifdhu al-aql (protection of intellect/memelihara akal), seperti larangan untuk makan atau minum atau menghisab yang berbahaya bagi otak manusia (2:219, 5:90, 4:43).
Perlindungan akal kini sudah berkembang dengan memasukkan pengembangan pemikiran ilmiah, perjalanan menuntut ilmu, melawan mentalitas taqlid, dan mencegah migrasi tenaga ahli ke luar negeri. Dalam konteks modern, perlindungan akal tidak hanya terbatas seperti itu. Dalam rumusan hak asasi manusia (HAM), perlindungan akal diwujudkan dalam bentuk kebebasan berekspresi (freedom of expression), atau kebebasan akademik (academic freedom) atau bahkan kebebasan beragama (freedom of religion).
Keempat, hifdhu al-nasl (protection of lineage/memelihara keturunan), yakni pada dasarnya perintah untuk menikah (4:3) dan larangan menikah dengan perempuan yang dilarang untuk dinikahi (ibu, saudara kandung, perempuan musyrik, dan lain sebagainya).
Secara aplikasi, tentu saja tidak cukup hanya demikian itu. Al-Amiri misalnya, mengembangkan teori ini dengan istilah hukuman bagi tindakan melanggar kesusilaan. Pada abad modern ini, perlindungan keturunan ini diaplikasikan dalam istilah perlindungan keluarga. Misalnya, Ibn Asyur menjadikan peduli keluarga sebagai maqashid hukum Islam.
Kelima, hifdhu al-mal (protection of property/memelihara harta); pada dasarnya larangan untuk mencuri (5:38), larangan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan cara bathil (2:188), larangan memakan harta riba (3:130). Rupanya, Jasser Auda juga mengembangkan istilah baru untuk mewakili perlindungan harta dengan, misalnya bantuan, pengembangan sosial ekonomi, distribusi kekayaan, masyarakat sejahtera dan lain-lain.
Akhiran, dari lima jenis kulliyyat al-khams di atas, ada dua aspek yang saling berhubungan, yaitu menjaga agama (hifdz al-din) dan menjaga akal (hifdz al-aqli). Menjaga agama (hidz al-din), menurut Jasser Auda, dimaknai yang sejalan dengan tuntutan HAM yaitu kebebasan beragama.
Makna ini tentu sebangun dengan menjaga akal (hifdz al-aqli), di mana menjaga dan melindung akal diberikan makna kontekstual seperti kebebasan berekspresi (freedom of expression), atau kebebasan akademik (academic freedom) atau kebebasan beragama (freedom of religion). Dengan demikian, tak ada ketegangan makna dan nilai antara maqashid al-syariah di satu sisi dan HAM di sisi lainnya. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.