Majalahaula.id – Ponpes Kauman Lasem berada di tengah kawasan Pecinan dan bersebelahan dengan penduduk Kauman sekitar Masjid Jami’ Lasem. Kehidupan santri bisa membaur dengan masyarakat etnis Tionghoa, Jawa dan Arab keturunan.
Gus Zaim Pengasuh Pesantren Kauman mengeklaim, pesantren Kauman Lasem ini merupakan pesantren tradisional yang dibangun oleh masyarakat. Sehingga, toleransi terhadap penduduk sekitar cenderung tinggi. “Pesantren tradisional adalah pesantren yang tidak muncul tiba-tiba. Kami ia dibangun dari masyarakat. Sehingga bisa beradaptasi dan menyatu dengan masyarakat,” tuturnya.
Gus Zaim juga membuat tagline untuk Ponpes Kauman sebagai Ponpes yang ramah. “Seluruh lembaga kami dari PAUD hingga MA mempunyai penciri multikultural, pesantren Ramah. Ini pas karena kami berada di tengah-tengah kampung Pecinan. Di sini, se RW hanya 4 keluarga yang bukan China,” ungkap Gus Zaim.
Bagi Gus Zaim, menjalankan agama yang diajarkan oleh Rasulullah Saw adalah dengan menunjukkan perilaku. Bukan dengan bendera agama. “Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ketika berhijrah ke Madinah. Tidak membentuk negara Islam, karena memang ada sebagian warga yang beragama lain. Namun beliau mendirikan ‘daarussalam’ sebagai penghargaan kepada warga yang beragama lain,” tandasnya.
Gus Zaim menambahkan, Ponpes Kauman sengaja tidak melepas ornamen-ornamen khas China karena ingin melestarikan sejarah. Ia menilai setiap bangunan lama mempunyai sejarahnya masing-masing.
“Kami tidak mengubah ornamen dan bangunan rumahnya, karena rumah ini juga bagian dari cagar budaya yang harus dilestarikan, bahkan saya sampai mengubah bangunan poskamling sesuai lingkungan masyarakat sini. Di sini kan kampung China, mayoritas warganya juga China, jadi tidak ada masalah jika memasang ornamen khas China, itu bagian dari budaya dan tidak bertentangan dengan agama,” imbuhnya.
“Kami selalu menekankan kepada para santri untuk membantu masyarakat meski berbeda agama. Islam mengajarkan umatnya untuk saling membantu,” jelasnya.
Gus Zaim bercerita, pada saat pemugaran poskamling di depan ponpes. Poskamling itu sebenarnya tempat untuk nongkrong dan minum-minum para pemuda. Kemudian para pemuda itu diajak untuk ikut berkumpul dengan para santri.
“Ya tak suruh kumpul, pakai sarung pakai peci. Wes pokoknya tiap hari saya perintahkan santri untuk ngumpul dengan mereka. Lama-lama kelamaan para pemuda itu sungkan lalu meninggalkan poskamling di depan pondok. Setelah mereka pergi poskamling itu saya pugar. Saya izin RT dan RW untuk memugar,” paparnya.
Perilaku ini sesuai dengan apa yang diajarkan dari pesantren. Nilai toleransi terus diajarkan, namun jika ada kejadian mungkar di sekitar, sebagai tamu para santri diajarkan untuk berdakwah secara halus. Bagi Gus Zaim, pengajaran akhlak adalah yang paling utama dalam Pesantren Kauman yang berkurikulum pesantren salaf.
”Kami berharap lulusan dari pesantren ini berakidah yang kokoh terhadap Allah dan syariatNya, menyatu di dalam tauhid, berakhlakul karimah, berwawasan luas dan keterampilan tinggi (menguasai sains & teknologi dengan segala perkembangannya, yang terangkum dalam Basthotan Fil ‘Ilmi wal Jismi yang artinya nilai lebih dalam hal keilmuan, ketrampilan dan kemampuan-kemampuan lahiriah,” pungkasnya. *Dy