Kita tak perlu terjebak pada perbedaan pendapat. Tetapi yang jelas, lima ayat pertama diturunkan di Gua Hira’ pada bulan ramadhan. Dan, ayat-ayat berikutnya diturunkan kepada Nabi dalam berbagai macam situasi dan kondisi. Penulis tak akan panjang lebar membahas ini, terutama tentang turunnya al-Qur’an, melainkan akan fokus membahas bagaimana bertadarus yang benar?
Syahdan, tadarus, yang kita kenal dengan “darusan” atau “nderes” ini dalam perjalanan sejarahnya menjadi tradisi membaca al-Qur’an setiap malam bulan ramadhan. Inilah yang terjadi saat ini. Yang tertinggal hanyalah kemampuan membaca aksara Arab yang ada di dalamnya.
Memang hal ini tidak jelek, karena di situ masih menunjukkan kecintaan umat pada al-Qur’an. Tapi sayang, al-Qur’an hanya sebatas menjadi bacaan yang tidak dimengerti kandungan atau makna yang terkandung didalamnya. Padahal, yang lebih penting bagi pembangunan umat adalah mengerti isinya akan al-Qur’an.
Dengan mengetahui dan mengerti akan isinya, bisa di pastikan dan kemungkinan besar seseorang akan selalu berperilaku dan bertindak positif, serta mencegah segala bentuk kejahatan, baik kejahatan pidana maupun perdata.
Bertadarus yang benar
Sudah waktunya tadarus dilaksanakan sebagai upaya untuk memahami isi al-Qur’an. Tadarus tidak lagi dilakukan hanya dengan membaca al-Qur’an secara bergiliran. Jika tadarus model baca al-Qur’an secara bergiliran diteruskan tahun demi tahun, maka manfaatnya bagi pembangunan umat tak akan dapat dirasakan. Dalam zaman sekarang, tadarus yang hanya berfungsi untuk menyemarakkan malam hari di bulan ramadhan, itu sama saja dengan membuang-buang waktu dan energi.
Kita harus menyadari sepenuhnya fungsi waktu dan energi bagi kehidupan kita. Pepatah Arab sendiri mengatakan al-waktu ka al-sayf, waktu bagaikan pedang. Orang Inggris bilang bahwa time is money, waktu adalah uang. Apa artinya? Ya, waktu itu amat penting dalam kehidupan kita.
Waktu tidak dapat kita undur. Maka, bila kita kehilangan waktu, sama dengan belum tentu ada kesempatan yang sama. Sedangkan energi adalah power, tenaga. Kalau tenaga yang tersedia kita hambur-hamburkan, kita tidak dapat melangkah kedepan. Dengan demikian, waktu dan tenaga harus kita perhatikan benar dalam perjalanan hidup.
Sebulan penuh beriyadhah, ber-exercise untuk menahan gejolak nafsu lapar, haus, menahan birahi yang berlebihan, menahan gejolak emosi, melatih sabar, dan bertutur kata yang baik. Dan, malamnya digunakan untuk mendalami dan merenungi isi al-Qur’an. Hasil perenungan selama sebulan itulah yang harus diterapkan pada bulan-bulan berikutnya.
Ya, bulan syawal adalah bulan pertama untuk meningkatkan kualitas diri kita setelah kita sebulan berlatih. Jadi, bulan ramadhan bukanlah bulan yang di dalamnya dipergunakan untuk membunuh waktu, killing time.
Mengapa al-Qur’an perlu dikaji terus-menerus?
Untuk mendapatkan petunjuk yang segar secara terus-menerus. Karena dengan mengkajinya terus-menerus dalam suasana perenungan, akan terjadi interaksi dan refleksi pembacanya. Dari situ akan lahir ruh baru. Semangat baru bagi pembacanya dalam hidup ini.
Ingat, al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi itu untuk menjadi petunjuk, penjelasan terhadap petunjuk itu sendiri, dan al-furqan pembeda yang jelas antara yang benar dan yang palsu. Hanya dengan mengetahui dengan jelas mana yang benar dan yang palsu, mana yang halal dan yang haram, kita dapat membangun kesejahteraan hidup lahir dan batin.
Nah, kita dapat bertadarus dengan benar bila di masjid-masjid tersedia orang yang mampu memahami al-Qur’an. Dengan cara mengajarkan makna dan pemahaman al-Qur’an, para peserta tadarus tidak lagi sekadar membaca bergiliran dan membaca ayat al-Qur’an sebanyak-banyaknya dalam satu malam. Beberapa ayat dalam satu juz kalau dipahami dengan benar akan memberikan faedah sebesar-besarnya bagi kehidupan pribadi maupun umat Islam.
Pada siang hari lapar dan haus ditahan. Gejolak emosi dikekang. Malam hari digunakan untuk membalas dendam dengan menyantap makanan yang lebih dari biasanya. Kalau perilaku yang semacam ini yang dilakukan selama bulan ramadhan, maka anak kecil pun bisa. Malam hari diisi dengan berbuka secukupnya, bukan masih terasa lapar atau kekenyangan.
Artinya, dalam kondisi badan yang nyaman ini, pada malam harinya digunakan untuk mentadarus al-Qur’an. Benar-benar mempelajari al-Qur’an secara bersama sama. Agar terjadi refleksi kolektif yang tumbuh dari dalam diri umat.
Bila kontemplasi dan refleksi umat terbentuk, dari situlah akan muncul tanda-tanda yang jelas tentang petunjuk. Petunjuk untuk menempuh hidup ini. Dan, tanda yang jelas, bukti yang terang atau “bayyinat” pada tahap berikutnya akan membangkitkan al-furqan. Dengan cara ini, akan terasa bahwa al-Qur’an tetap diturunkan selama bulan ramadhan. Bulan-bulan berikutnya merupakan wahana bagi penerapan makna-makna ayat yang telah dikaji dan dipelajari selama malam-malam ramadhan.
Dalam berbagai kitab tafsir, alfurqan diterjemahkan sebagai “pembeda yang benar dan yang salah”. Ya, makna dasar dari furqan adalah standar atau patokan. Standar untuk bisa menilai mana yang asli dan mana yang palsu. Mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, redaksi QS. Al-Baqarah [2]: 185 itu luar biasa sangat mengagumkan.
Jelasnya, setelah seseorang mendapatkan petunjuk, maka ia akan menerima pula penjelasan yang gamblang tentang petunjuk itu. Baru kemudian, ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang palsu!
Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar pada abad XIII, menyatakan bahwa al-Qur’an itu bagaikan pengantin wanita yang masih bercadar. Itu artinya, untuk mengetahui keindahan isinya kita tidak cukup dengan membacanya saja. Kalau hanya sekedar membaca, sama seperti melihat pengantin yang bercadar. Kita tak pernah tau kecantikannya. Apalagi mengenal lebih dalam. Karena itu, kita harus berinteraksi dengan al-Qur’an secara intensif. Baru, kita tahu hikmah yang ada di dalamnya. Wallahu a’lam bisshawaab.
Makna Al-Qur’an (2): Sebuah Kitab Petunjuk
Di dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 2 dinyatakan bahwa, kandungan al-Qur’an tak perlu disangsikan lagi. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Orang-orang yang sungguh-sungguh memercayai keberadaan yang gaib, yang tak terjangkau oleh indera kita. Yu’minuna bi al-ghayb. Memercayai secara aktif terhadap keberadaan yang gaib.
Kalimat yu’minuna bi al-ghayb bukan berarti sekadar percaya seperti anak kecil percaya. Tidak, tidak demikian! Beriman kepada yang gaib itu merupakan usaha keras untuk memercayai yang gaib secara aktif. Makanya, Al-Baqarah [2]: 2 ini menyebut bahwa al-Qur’an itu sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Dan, langkah pertama orang yang bertakwa itu adalah mengimani yang gaib. Jika sekadar percaya, ya tidak diperlukan petunjuk.
Kemudian aksi percaya terhadap yang gaib itu di iringi dengan penegakan shalat. Perhatikan dengan seksama kalimat menegakkan. Tentu saja, kalimat ini tidak bermakna sekedar menjalankan rutinitas shalat.
Di dalam al-Qur’an surah Al-Ankabut [29]: 45 di terangkan bahwa, menegakkan shalat itu adalah untuk menahan diri dari dan mencegah perbuatan keji dan perbuatan mungkar. Selain itu, penegakan shalat juga merupakan usaha untuk mengingatkan atau berdzikir kepada Allah (QS. Taha [20]: 14).
Bunga dan buah al-Qur’an tak akan muncul bila ibadahnya hanya dijalankan untuk memenuhi formalitas belaka. Ia harus didukung dengan sikap dan tindakan berinfaq dalam arti seluas-luasnya. Bukan dalam arti semata-mata mengeluarkan dana atau zakat. Tapi sikap hidup untuk mau membantu kegiatan pembangunan kesejahteraan umat.
Makanya, dibanyak ayat selalu disebutkan bahwa penegakan shalat dan penuaian zakat itu merupakan satu paket. Shalat dan zakat tak pernah dipisah. Ini menunjukkan bahwa, shalat dan zakat itu harus dilakukan oleh setiap orang yang bertaqwa.
Namun, jika zakat itu dipahami sebagaimana yang dilakukan oleh orang Islam sekarang, maka hanya orang yang mempunyai kekayaan saja yang bisa berzakat. Dengan kata lain, jika zakat itu zakat harta, maka tidak semua orang yang bertakwa yang bisa mengamalkan zakat. Lalu, apa makna menafkahkan rezeki yang dianugerahkan Tuhan? Dalam hal ini, disini kata rezeki harus diberi makna yang seluas-luasnya. Rezeki yang dimaksud tentunya meliputi rezeki lahir dan batin.
Rezeki lahir jelas berupa harta-benda dan kesehatan tubuh. Sedangkan rezeki batin adalah akhlak yang mulia. Jika rezeki yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia ini harus di zakati, maka itu harus merupakan bentuk dari konsep tolong-menolong di antara umat dalam hal ketakuwaan dan kebaikan. Yang punya harta akan memberikan sebagian hartanya untuk kesejahteraan umat sebagaimana di atur dalam al-Qur’an surah At-Taubah [9]: 60.
Yang tidak memiliki harta ya menggunakan tenaganya untuk beraksi, bertindak demi terciptanya kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera. Jadi, penegakan salat dan penunaian zakat merupakan aksi untuk membangun baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang sejahtera dan senantiasa dalam lindungan Tuhan (QS. Saba’ [34]: 15).
Selanjutnya, keimanan terhadap al-Qur’an (termasuk teladan dari Nabi dan hikmah yang diturunkan kepada beliau) harus pula didukung oleh keimanan terhadap apa yang diturunkan kepada para nabi, rasul, wali, dan para bijak sebelum Nabi Muhammad. Mereka semua memancarkan Cahaya Ilahi.
Inilah yang dimaksud dengan orang bertakwa ialah orang yang juga mengimani apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan apa yang diturunkan kepada orang-orang sebelumnya. Dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]: 4. Hal ini dinyatakan sebagai wa alladzina yu’minuna bima unzila ilayka wama unzila min qablika.
Apa yang disebut dengan ma unzila itu? Kata ma unzila berarti apa yang diturunkan. Pada umumnya, tafsir menyebutkan bahwa apa yang diturunkan ke pada Nabi Muhammad adalah al-Qur’an. Sedangkan apa yang diturunkan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad adalah Taurat (kepada Musa), Zabur (kepada Daud), dan Injil (kepada Nabi Isa). Al-Qur’an di imani, sedangkan yang selainnya sekadar dipercaya keberadaannya. Inilah yang membuat orang Islam pada umumnya tidak memahami risalah para rasul sebelum Nabi Muhammad.
Dalam al-Qur’an jelas disebutkan bahwa mengimani al-Qur’an dan kitab selainnya itu pada posisi yang setara. Sudah menjadi konsekuensi yang harus dipikul umat Islam bahwa umat harus menelaah semua kitab suci yang ada di dunia, khususnya kitab suci agama-agama Yahudi dan Nasrani yang mengklaim Ibrahim sebagai bapa para Nabi.
Dengan memahami Alkitab, baik Alkitab yang di berikan kepada Musa dan Isa, maupun Alkitab al-Qur’an, maka kita akan memahami makna kesinambungan risalah dari Tuhan semesta alam. Tanpa memahami kitab-kitab yang ada, kita pasti mengalami keterputusan risalah, sehingga seolah-olah al-Qur’an itu bukan sambungan kitab sebelumnya.
Dan, apa yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Mubammad ternyata bukan hanya kitab suci seperti Taurat, Zabur, dan Injil. Contohnya, apa diturunkan kepada Nabi Isa ternyata bukan yang hanya Injil. Nabi Isa menerima kitab, hikmah, Taurat dan Injil (QS. Al-Imran [3]: 48).
Kita selama ini hanya tahu bahwa Nabi Isa menerima Injil. Padahal, jelas sekali bahwa Injil hanyalah salah satu risalah yang diterima Nabi Isa. Masih ada lagi yang diterima, yaitu kitab, hikmah (terkandung juga hukum), dan Taurat. Tanpa membaca dan menelaah apa yang disebut Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), tentu kita tak akan mengerti kitab, Taurat, Injil, dan hikmah yang pernah diterima Nabi Isa.
Ya, semua kitab dan hikmah datangnya dari Allah Swt. Dalam perjalanannya ada orang-orang yang melakukan perubahan-perubahan yang sesuai dengan selera hawa nafsunya. Nah, yang biasanya diubah-ubah itu adalah kitab.
Jadi, Taurat dan Injil itu tetap asli dan tak pernah mengalami perubahan. Taurat (Ibrani, Torah) sendiri mempunyai arti pernyataan Tuhan untuk keselamatan hidupnya manusia. Pernyataan tetap merupakan pernyataan, dan tentu saja tidak akan berubah. Untuk memahami pernyataan itu lahirlah apa yang disebut kitab, yang artinya catatan.
Makanya, yang mengalami perubahan itu ya kitab. Itulah sebabnya bisa kita temukan beberapa hal yang janggal, baik yang terdapat pada kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur’an maupun yang bertebaran di dalam hadits Nabi.
Tapi, kita tetap wajib menelaah dan mempelajarimya dengan saksama. Kita harus bertadarus dalam arti yang sebenarnya. Khususnya di bulan ramadhan. Karena dalam bulan ini suasananya kondusif, mendukung, untuk iqra’ al-Qur’an. Tanpa melakukan tadarus dengan benar, bagaimana mungkin kita dapat petunjuk?
Seluruh bentuk keimanan tadi pada akhirnya harus di “pak” (di-pack) dalam keyakinan terhadap akhirat. Keyakinan terhadap akhirat tidaklah semata-mata percaya akan adanya hari akhirat. Keyakinan terhadap akhirat merupakan suatu sikap hidup.
Adanya kesadaran bahwa semua yang kita kerjakan ini ada imbalan atau balasannya. Imbalan yang pasti bagi mereka yang melakukan derma, kebajikan, atau amal saleh. Balasan atau hukuman yang niscaya, bagi mereka yang melakukan kejahatan, baik yang tersembunyi maupun kejahatan di hadapan publik.
Kalau sekarang kita menyaksikan banyak tokoh Islam yang terlibat kejahatan di depan publik seperti kejahatan korupsi dan kolusi, itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai keyakinan terhadap akhirat. Yang mereka punyai hanyalah sebatas kepercayaan terhadap akhirat, yang tak ada bedanya dengan kepercayaan yang dimiliki anak-anak sekolah dasar. Hanya keyakinan yang benar yang akan menuntun pada kehidupan yang benar.
Nah, interaksi dengan al-Qur’an memang harus didukung dengan sikap hidup yang lurus, yang jujur. Baru kita bisa merasakan bahwa al-Qur’an memang merupakan petunjuk dalam hidup ini. Petunjuk agar kita bisa melangkah dalam hidup ini dengan benar. Dan, ternyata dalam petunjuk itu, terkandung juga “bayyinat”, tanda-tanda, rambu-rambu, dan marka bagi pejalan untuk sampai di tempat tujuan.
Bila rambu-rambu dan marka itu telah kita lihat dengan jelas, maka akan muncul pula patok-patok kemana kita harus melangkah. Kita akan tahu, mana arah yang benar dan mana arah yang salah. Kita akan tahu, mana yang betul-betul asli dan mana yang hanya merupakan tipuan alias palsu. Itulah sebabnya al-Qur’an juga dinamakan al-furqan, sang pembeda.
Mungkin dalam perjalanan hidup ini ada yang gundah dan mengalami kecemasan. Bahkan, kecemasannya itu telah menghantui hidupnya. Dalam kondisi demikian, al-Qur’an dalam menjadi obat dan rahmat bagi yang sungguh-sungguh mencari-Nya (QS. Al-Isra’ [17]: 82, Yunus [10]: 57). Sekali lagi, sungguh-sungguh mencari-Nya. Demikianlah sebagian dari makna diturunkannya al-Qur’an kepada manusia yang diawali turunnya di bulan ramadhan pada 610 M. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.