Majalahaula.id – Kabupaten Pangandaran merupakan daerah yang kaya akan sejarah, terutama penyebaran agama Islam. Pendirian Pondok Pesantren (Ponpes) di Pangandaran sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia, bahkan mulai berdiri ketika wilayah Pangandaran masih terbagi dua antara Kerajaan Galuh dan Sukapura.
Informasi yang dihimpun detikJabar, Ponpes tertua di Pangandaran terdapat di Dusun Cintasari, Desa Cintaratu, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Nama pesantren tertua itu Asy Syujaa’iyyah yang diambil dari nama keturunan anak Eyang Kalincir Putih, pemuda tampan penyebar agama Islam di Pangandaran.
Pesantren Asy Syujaa’iyyah diambil dari pendiri ponpes yaitu Eyang Syaju, ia merupakan generasi keempat anak dari KH Abdul Aziz yang merupakan cucu dari Eyang Syaju.
Keturunan generasi 9 Eyang Sembah Kalincir Putih, Kyai Haji Ali Aziz mengatakan pesantren Asy Syujaa’iyyah sudah berdiri sebelum kemerdekaan Indonesia.
“Kalau tahun berdiri awal mah sebelum tahun 1930an tapi tepatnya kurang uninga,” kata Ali saat ditemui detikJabar belum lama ini.
Ia mengatakan pesantren Asy Syujaa’iiyah merupakan 3 pesantren yang tertua di wilayah Ciamis Selatan atau sekarang Kabupaten Pangandaran.
“Kan pertama ada ponpes Asy Syujaa’iiyah, Ponpes Kalensari dan Ponpes Perembun,” ucapnya.
Menurutnya pendiri pesantren Asy Syujaa’iiyah sudah wafat lama setelah ramai gerombolan DI/TII sekitar tahun 1950an dan makamnya berada di atas SDN Cintaratu.
“Perjalanan berdirinya pesantren itu sempat menceritakan kisah yang mengenaskan. Bahkan tahun 1950 pesantren sempat dibakar karena pemberontakan DI/TII yang menganggap Asy Syujaa’iiyah tidak satu paham,” ucapnya.
Ia mengatakan seluruh santri sehingga semuanya mengungsi ke wilayah hutan Pangandaran.
“Pemberontakan dan pembakaran pesantren karena keturunan Asy Syujaa’iiyah tidak mau mengikuti paham DI/TII,” ucapnya.
Ali mengatakan semenjak berdirinya pesantren Asy Syujaa’iiyah perkembangan pengajian rutin dikembangkan pesantren.
“Dulu ada pengajian rutin bulanan, manakiban. Pengajian mingguan perkumpulan malam Jumat dan malam Selasa, kalau harian tiap waktu,” ucapnya.
Menurut Ali penolakan paham DI/TII tidak sejalan dengan pesantren yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah.
“Kan pesantren ini mengamalkan ilmu tarikah, gurunya keturunan Rasulullah, dibesarkan masalah zikir,” katanya.
Ia mengatakan ngadegna (berdirinya) Agama di pribadi seseorang tidak lengkap jika tidak mempelajari syariat (ilmu fiqih), tarekat perjuangan agama(tasawuf), hakekat (aya basa aya bukti).
“Ilmu syareat ker ngatur awak di ilmuan fiqih, elmu tarekat ker ngatur hate, elmu hakekat elmu tasawuf ker ngatur akhlak, (Ilmu syariah untuk mengatur badan, ilmunya fikih, ilmu tarikat untuk mengatur hati, ilmu hakikat, ilmu tasawuf untuk mengatur akhlak),” ucapnya.
Saat ini pesantren tersebut memiliki murid sebanyak 286 santri dari berbagai daerah. “Kebetulan kalau sekarang kami juga buka sekolah boarding school, jadi tidak hanya pesantren saja,” katanya.