Majalahaula.id – Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menolak jual beli baju bekas impor atau thrifting impor karena ingin melindungi industri tekstil milik pelaku UMKM.
Menurutnya, impor produk tekstil bekas dan ilegal tersebut tidak sejalan dengan upaya pemerintah mendorong konsumsi produk lokal melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI).
Melalui Gerakan Nasional BBI, lanjutnya, pemerintah mempunyai kebijakan untuk belanja 40 persen produk UMKM dalam pengadaan barang. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi terdapat pertumbuhan ekonomi nasional sebanyak 1,85 persen dan menciptakan dua juta lapangan pekerjaan tanpa investasi baru.
“Jika konsumsi rumah tangga melalukan hal serupa, saya yakin pertumbuhan ekonomi nasional akan semakin meningkat,” terangnya.
Teten meminta bea cukai untuk lebih ketat meningkatkan pengawasan mengenai masuknya pakaian impor bekas ilegal.
“Sebenarnya tidak sulit karena sudah kita investigasi, selain lewat medsos (media sosial), ada di Pasar Senen, Gedebage, dan Pasar Baru. Dari situ kan lebih mudah diidentifikasi siapa importirnya,” ungkapnya.
Sementara, Deputi Bidang UKM Kemenkop dan UKM Hanung Harimba Rachman meminta penjualan pakaian bekas impor di media sosial dapat dibatasi agar tidak merusak industri garmen dalam negeri dan produk UMKM dapat tumbuh. Pihaknya bahkan kesulitan melacak penjualan di media sosial karena tidak ada platform dan data yang jelas seperti penjual di e-commerce.
Hanung menjelaskan impor pakaian bekas merupakan tindakan ilegal sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Pada Pasal 2 Ayat 3 tertulis pakaian bekas dilarang untuk diimpor karena sejumlah alasan, mulai dari masalah kesehatan hingga lingkungan.
“Masyarakat kita ini masih banyak yg suka brand dan sensitif dengan harga, jadi ini mengganggu UMKM kita yang produsen produk yang lebih sehat,” ujarnya.
Ia memaparkan, terdapat sejumlah tantangan dalam penegakan hukum. Pertama, wilayah Indonesia yang luas menyebabkan aparat penegak hukum dan stakeholder terkait kesulitan memberantas impor ilegal. Kemudian kesadaran dari konsumen dan penjual. Banyak yang menganggap bahwa produk ini produk yang tidak dilarang diimpor dan masyarakat belum banyak yang mendukung kebijakan. Selain juga alokasi dana yang terbatas untuk memusnahkan tumpukan barang.
“Kami mengusulkan agar penjualan pakaian impor bekas di media sosial turut dibatasi, selain tentunya mengusut importir di sentra pakaian bekas. Literasi, sosialisasi produk dan intensifkan gerakan bangga buatan produk Indonesia,” pungkasnya.