Majalahaula.id – Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon KH. Imam Jazuli, Lc. MA, meminta Nahdlatul Ulama (NU) menolak hanya dijadikab sebagai ‘penyedap’ sebagaimana daun salam. Menurut Kiai Imam, pemilu pada dasarnya adalah tentang mengumpulkan suara. Karena ini hukum demokrasi kita, maka lumbung suara dimana pun akan selalu menjadi “rebutan” bagi setiap kontestan, partai politik (parpol), dan politisi. “NU adalah lumbung suara dengan potensi besar itu sendiri,” tegasnya.
Apakah patut berbangga bila salah satu kader terbaik NU dilamar oleh banyak Parpol untuk maju pada Pemilu 2024 nanti? Tentu saja jawabannya sangat relatif. Ada beberapa pertimbangan untuk menilai apakah pinangan dari parpol tersebut membanggakan atau malah memilukan. Karenanya, kader NU harus pandai memilih dan memilah yang terbaik.
Sejak Pemilu pertama 1955, Islamisme secara umum, termasuk an-Nahdliyyah, tumbang di tangan kelompok berideologi nasionalis. Baru saat era Reformasi meletus, Islam An-Nahdliyyah bangkit di tangan NU-PKB yang mengantarkan Islam an-Nahdliyyah keluar sebagai pemenang.
NU-PKB menghantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hadir sebagai Presiden RI ke-4. Sayangnya, masa keemasan NU-PKB atau Islam Nahdliyyin sangat singkat, dari 1999-2001. Sejak 2002 sampai 2024, hampat seperempat abad, Islam Nahdliyyin tenggelam. Maksimal menjadi seorang Wakil Presiden.
“Pemilu 2024 nanti tidak boleh terjebak di dalam pinangan partai politik, yang ingin menjadikan kader NU sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres),” tukas Wakil Ketua Pimpinan Pusat RMI ini. Menjebak kader NU sebagai Cawapres adalah salah satu upaya menjadikan NU sebagai daun salam. Hal itu bisa kita belajar dari keberadaan Cawapres dari NU saat ini, KH. Ma’ruf Amin, sebagai bukti bahwa NU hanya dijadikan alat mendulang suara saja. “Karena itulah, jargon kita adalah: “Siapapun Kader NU yang Maju, Capres Harga Mati!” pungkas alumni Pondok Pesantren Lirboyo ini.(Vin)