Majalahaula.id – Universitas Islam Lamongan (Unisla) menggelar seminar moderasi beragama dan menolak segala bentuk intoleran, radikalisme dan terorisme. Kegiatan yang dilaksanakan oleh pascasarjana dan Litbangpemas Unisla itu dipusatkan di aula lantai 2 gedung pascasarjana Unisla, Sabtu (25/2/2023).
Seminar ini menghadirkan narasumber Ketua Yayasan Lingkar Perdamaian Dr Ali Fauzi Manzi dan Dandim 0812 Lamongan Letkol Kav Endi Siswanto Yusuf.
Ketua Pelaksana Seminar, Dr Abid Muhtarom SE SPd MSE mengatakan, melalui kegiatan tersebut mahasiswa Unisla diharapkan menjadi agen-agen agama Islam moderat yang bisa menjadi simpul persatuan, toleransi, dan perekat sosial keagamaan.
“Melalui seminar ini mahasiswa dan sivitas akademisi akan tertanam nilai-nilai moderasi dalam menjalankan ajaraan agama Islam,” kata Abid.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lingkar Perdamaian, Dr Ali Fauzi Manzi memberikan apresiasi kepada Unisla yang telah mengadakan seminar moderasi beragama. Menurutnya, seminar seperti ini penting bagi mahasiswa agar tidak mudah masuk jaringan terorisme.
“Yang terpenting bagi mereka harus paham tentang bahaya radikalisme dan terorisme. Karena kelompok underground (terorisme) agak susah dibaca secara utuh. Saya berharap mahasiswa ini bisa punya spirit baru untuk ikut bersama menanggulangi bahaya terorisme,” ucapnya.
Dr Ali menyebutkan, mahasiswa juga harus memahami bagaimana pola atau model penyebaran, pemikiran, dan proses dari radikalisme itu sendiri. “Memang awalnya adik-adik mahasiswa akan tertarik, empati, dan simpatik. Jika sudah paham, maka otomatis bisa menyadari dan menerka bahwa itu adalah ciri-ciri dan model penyebaran paham terorisme,” tuturnya.
Dirinya mengemukakan, semangat bergerak menggaungkan kebencian dan daulah yang dimiliki para teroris dan radikalis itu luar biasa meskipun mereka terbilang kelompok kecil atau minoritas. Dan, menurutnya, semangat mereka bisa mengalahkan ajaran-ajaran lainnya.
“Dan semangat mereka tentu bisa kita tiru dan transformasi untuk menjunjung nilai-nilai ajaran agama dalam berbangsa dan bernegara. Asalkan jangan meniru muatannya. Kita harus tetap berada di Islam wasathiyah sebagai Islam yang rahmatan lil alamin,” ujar Dr Ali.
Di samping itu, ia menjelaskan trigger (pemicu) yang menjadi titik balik dirinya selaku eks narapidana dan mantan kombatan dengan jabatan terakhir kepala instruktur perakitan bom Jamaah Islamiyah Jawa Timur hingga bisa menjadi seseorang yang disegani dan meraih gelar doktoral.
“Memang tidak mudah, semua itu butuh proses. Saya meninggalkan radikalisme dan terorisme itu bukan karena diajak diskusi atau seminar. Tapi karena hati saya tergerak ketika ada petugas dari Mabes Polri memanggil adinda saat muntah darah. Panggilan itu terngiang, hingga merubah pola pikir saya bahwa Polisi tidak jahat,” katanya.
Kemudian ketika bebas dari belenggu jeruji tahanan Mabes Polri, dirinya memiliki keinginan kuat agar seluruh mantan narapidana terorisme bisa sembuh 100 persen seperti yang dialaminya.
“Dari pengalaman saya menjadi pasien, kini saya bisa menjadi dokter bagi mereka yang terpapar virus radikalisme dan terorisme. Saya juga berharap mereka yang sudah sembuh juga bisa mengkampanyekan bahaya terorisme dan radikalisme,” harapnya.
Dr Ali mengakui, seminar di Unisla yang menyebut diri Kampus Hijau ini merupakan pertama kali dirinya menjadi narasumber secara offline untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat Indonesia setelah meraih gelar doktoral. “Ke depan, saya sangat berharap Indonesia Zero Terorisme,” ucapnya.
Pihaknya juga memberikan semangat kepada mahasiswa dan sivitas akademika Unisla yang hadir mengikuti seminar. “Saya dulu ibarat sampah tapi bisa didaur ulang. Ibarat saya ini ulat bisa bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Intinya tidak ada orang baik yang tidak punya masa lalu kelam, tidak ada orang jahat yang tidak punya masa depan, setiap kita punya kesempatan yang sama untuk bisa berubah menjadi lebih baik,” urainya.
Di kesempatan yang sama, Dandim 0812 Lamongan Letkol Kav Endi Siswanto Yusuf menegaskan, tugas mencegah, menghilangkan dan menolak paham intoleran, radikalisme dan terorisme di kalangan mahasiswa bukan hanya tugas TNI-Polri.
“Ini tugas kita bersama bagaimana mencegah atau menangkal isu-isu radikalisme ini tidak berkembang. Jangan sampai negara kita ini bukan NKRI lagi karena adanya kelompok-kelompok radikal,” ujar Endi.
Endi juga mengatakan, semangat bergerak dan energi yang dimiliki oleh gerakan terorisme itu patut ditiru. Bukan muatan ajarannya, tapi semangat yang tertanam dalam diri mereka masing-masing.
“Mereka mau bunuh diri dengan doktrin imbalan masuk surga. Pertanyaannya kenapa tidak dilakukan yang mendoktrin saja. Namun semangat itu bisa kita arahkan dan transformasikan ke yang lebih positif dengan semangat membela negara,” tuturnya.
Dengan adanya seminar tersebut Endi berharap, mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan yang jelas atau cukup agar tidak tergelincir ke paham radikal dan teroris. “Selama ini kita juga melakukan pendekatan dan kegiatan teritorial wawasan kebangsaan, sehingga NKRI tetap terjaga dari perpecahan,” kata Endi. (Hen)