Majalahaula.id – Sudah mafhum bahwa, ajaran Islam secara garis besar ada tiga. Pertama, ajaran akidah; kedua, ajaran akhlak tasawuf; dan ketiga ajaran syariat. Ajaran akidah disebut juga ajaran tauhid yang berbasis keimanan kepada Allah Swt. berbeda dengan ajaran tasawuf yang mengedepankan tazkiyah al-nafsi atau takhalli dan tahalli. Sedangkan ajaran syariah (dalam hal ini secara sempit) adalah al-Ahkam al-Amaliyah (aturan praktis) yang mengatur tingkah dan perilaku manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun antar sesama.
Kita tahu, di zaman al-Ghazali ada penilaian (terutama dari al-Ghazali sendiri) bahwa kesenjangan antara fiqh dan tasawuf kerap terjadi. Pada saat itu, fiqh dianggap terlalu formalistik. Banyak yang mengira tasawuf identik dengan wirid dalam masjid serta tak ada hubungan dengan perjuangan politik. Padahal, kata Kiai Afif, tasawuf tidaklah demikian.
Contoh yang paling dekat, lanjut Kiai Afif, adalah penghancuran dunia Islam yang dilakukan oleh tentara tar-tar. Dunia Islam dengan Baghdad sebagai qalbul biladi Islamiyah (jantung negara Islam) sudah tidak memiliki apa-apa. Berapa juta kaum muslimin yang meninggal, dan bahkan senjata sudah tidak ada sama sekali. Seluruhnya musnah. Dengan demikian, jika ada orang yang mengatakan bahwa tentara tar-tar itu kalah, maka jangan percaya. Kenapa sebab? Karena dunia Islam saat itu sudah lumpuh.
Akan tetapi, setelahnya, tentara tar-tar yang sangat bengis itu justru luluh di hadapan orang-orang suci dari kalangan murid-muridnya Syekh Abdul Qadir al-Jailaini. Orang-orang Mongol dengan kesadaran sendiri berbondong-bondong masuk Islam di bawah kepemimpinan dan pengaruh dari orang-orang Sufi. Itu artinya, tasawuf punyak pengaruh besar terhadap peningkatan peradaban umat manusia di atas bumi ini.
Masih tentang ajaran Islam. Kiai Afif mengatakan, diantara ketiga ajaran Islam yang paling dominan adalah ajaran syariat. Berarti, sekiranya akidah bersifat ilmiah, tasawuf bersifat qalbiyah, maka syariat bersifat amaliyah karena menyangkut perilaku dan tingkah laku manusia, baik dalam hubungan dengan Allah Swt. maupun hubungan antar sesama manusia.
Syahdan, syariat secara garis besar ada dua. Ada yang tsawabit (tetap) dan mutaghayyirah (berubah). Bagian syariat yang harga mati tidak akan berubah (tsawabit) kapan pun dan dimana pun saja. Dan, pada umumnya aturan syariat yang demikian itu adalah aturan-aturan syariat yang sepenuhnya qath’iy.
Sementara ajaran syariat yang mutaghayyirah adalah punya potensi untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Inilah yang kemudian disebut fiqh. Di sebut fiqh karena sifatnya adalah “ijtihadi” yang melibatkan pemikiran manusia secara mendalam, serta punya potensi terjadinya perbedaan pendapat. Karena itu tak heran jika dalam satu persoalan ada perbedaan pendapat.
Demikian juga, secara garis besar fiqh terbagi dua. Ada fiqih ibadah ada fikih muamalah. Muamalah dalam pengertian luas adalah persoalan-persoalan yang bukan ibadah. Yang jelas fiqh muamalah memiliki kaidah dan prinsip yang berbeda dengan fiqih ibadah. Salah satu kaidah fiqih muamalah mengatakan “bahwa persoalan muamalah itu sangat longgar sampai ditemukan dalil yang melarang.”
Dari sini kita tahu bahwa, kata Kiai Afif, untuk membolehkan persoalan yang menyangkut muamalah tidak perlu mencari dalil yang membolehkan. Artinya, urusan muamalah sekiranya tak ada dalil yang melarang, maka itu di perbolehkan. Termasuk bagian dari fiqh muamalah adalah fiqh siyasah (politik). Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya acauan fiqh politik?
Satu waktu, ada diskusi antara seorang faqih Hambali dan faqih Syafi’i tentang siyasah. Seorang faqih Syafi’i mengatakan “politik dalam Islam harus sesuai dengan apa yang tertera di dalam syariat.” Akhirnya di protes oleh faqih Hambali “jika yang kamu maksud politik adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariat, maka itu adalah benar. Akan tetapi kalau yang kamu maksud bahwa syariat harus sesuai dengan yang manshus di dalam syariat, maka itu adalah kesalahan.”
Jika demikian, berarti anda menyalahkan para sahabat yang banyak melakukan keputusan hukum tidak berdasarkan secara langsung. Maka, menurut faqih Hambali, bahwa politik dalam Islam adalah setiap aktivitas (kebijakan) yang menggiring manusia ke dalam kemaslahatan dan menjauhkan manusia dari pada kemafsadatan, sekalipun itu tidak ditentukan oleh Nabi dan tidak berdasarkan Wahyu.
Ini artinya bahwa, acuan politik dalam Islam adalah mashlahah mursalah selain mashlahah muktabarah. Mashlahah adalah sesuatu yang menurut akal sehat itu baik. Jika sesuatu yang menurut akal sehat itu baik, lalu ada dalilnya (dan diakui oleh dalil), maka itu adalah mashlahah muktabarah.
Sementara itu, sesuatu yang menurut akal sehat baik tapi diabaikan (dinafikan) oleh nash, maka itu adalah mashalahah mulghah. Dulu ada yang mengusulkan agar supaya pembagian waris antara laki-laki dan perempuan di samakana (mengingat kondisi di negara ini meniscayakan pemerataan). Tentang hal ini, sepintas memang baik, tapi al-Qur’an sudah tidak mengatakan demikian. Ini adalah mashlahah mulghah.
Namun demikian, ada sesuatu yang menurut akal sehat baik tapi tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun hadits dalil baik yang mengapresiasi dan yang mengabaikan. Inilah mashlahah mursalah. Contohnya adalah seperti menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf.
Kita tahu, di dalam pemerintahan Sahabat Umar banyak penghafal-penghafal al-Qur’an yang gugur di medan perang. Hingga akhirnya Sahabat Umar matur-usul kepada Sahabat Abu Bakar, bagaimana andaikan al-Qur’an yang berserakan dihimpun dalam satu mushaf. Namun Sahabat Abu Bakar tak menyetujuinya lantara yang demikian ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Akhirnya Sahabat Umar menjawab bahwa, meskipun hal ini tak pernah dilakukan oleh Rasulullah, demi Allah ini adalah hal yang baik.
Menurut Kiai Afif, beginilah acuan fiqh politik. Prinsip-prinsip mashlahah mursalah ini bisa dijadikan acuan untuk menilai perundang-undangan yang ada dunia ini, baik itu hukum internasional, nasional, maupun hukum lokal. Kita menimbang aturan-aturan yang ada di atas bumi ini, apakah itu baik apakah tidak.
Misalnya Pancasila. Pancasila itu perumusannya berdasarkan apa? Apakah semata-mata berdasarkan akal sehat, ataukah juga melirik ayat-ayat al-Qur’an dan hadits? Sekalipun yang dibenarkan adalah yang pertama dalam hal ini hanya berdasarkan akal sehat, tetapi isinya sangat baik, maka itu masuk bagian dari pada mashlahah mursalah.
Dalam hubungan antara Pancasila dan syariat, Kiai Afif memiliki tiga kategori. Pertama bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan syariat; kedua, Pancasila sesuai dengan syariat; dan ketiga Pancasila adalah syariat itu sendiri. Lalu apa bedanya antara tak bertentangan dengan sesuai?
Jawaban Kiai Afif, kalau kita meneliti ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits untuk menemukannya, jangan-jangan ada ayat atau ada hadits yang tak sesuai dengan Pancasila, namun ternyata tidak ada, maka berarti Pancasila tidak bertentangan dengan syariat.
Sebaliknya, kalau ternyata yang ditemukan banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang isinya sesuai dengan Pancasila berarti sesuai Pancasila, berarti Pancasila selaras dengan Pancasila. Ini kategori yang pertama dan yang kedua. Sementara yang ketiga, dulu pernah ada pembahasan di Mesir tentang bagaimana kalau ada hukum positif yang hanya berdasarkan akal sehat tapi sama dengan syariat, apakah bisa diklaim dan dihukumi sebagai syariat itu sendiri?
Dalam hal ini beragam pendapat. Ada yang mengatakan hal itu tak bisa, karena hukum positif dan syariat memiliki rumusan yang berbeda. Ada juga yang mengatakan bisa, karena Pancasila bisa disebut sebagai syariat itu sendiri.
Salah satu hadits yang sangat populer di kalangan Kaum Nahdliyin adalah Hadits yang berbunyi “hubbul wathon minal iman” bahwa cinta tanah air adalah bagian dari pada iman. Banyak kalangan yang mengatakan ini bukan hadits, bahkan ada yang mengatakan ini adalah hadits maudhu’. Baik tidak dikatakan hadits ataupun dikatakan hadis maudhu’, namun maknanya benar dan banyak didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an
Maksudnya, makna esensi dan substansi dari hadits ini didukung oleh banyak ayat-ayat al-Qur’an. Salah satunya adalah doanya Nabi Ibrahim “ketika Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah Swt. wahai Tuhan jadikanlah negeriku ini (Makkah) menjadi negeri yang aman.” Ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim sangat cinta tanah airnya. Mana mungkin orang yang tak cinta tanah air mendoakan tanah airnya aman.
Kata Kiai Afif, kita mendoakan negara ini sebagai bukti bahwa kita cinta tanah air ini. Ayat yang lain mengatakan: “Allah Swt tidak melarang kamu berbaik-baikan dengan orang-orang muslim selama mereka tidak memerangi kamu dan selama mereka tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.”
Artinya kampung halaman sangat penting, sehingga menjadi tolok ukur boleh dan tidaknya kita berbaik-baikan dengan orang-orang muslim. Demikian juga dalam ayat yang lain dikatakan, Nabi mengatakan kepada Bani Israil “jangan-jangan jikalau perang disyariatkan dan diperintahkan kepadamu, jangan-jangan kamu tidak mau perang. Mereka mengatakan tak mungkin kita tidak berperang sementara kita diusir dari kampung halaman ini.”
Disini, perang menjadi satu alasan betapa pentingnya kampung halaman. Alhasil, tentang makna hubbul wathon minal iman maknanya shahih karena didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an selain juga dari hadits-hadits Nabi.
Penting juga diketauhi, bahwa dari kata wathon ini lahirlah yang namanya muwathanah (kewarganegaraan). Artinya, menisbatkan diri kepada tanah air tertentu. Lebih dari itu juga bermakna, warga negara yang enisbatkan diri kepada tanah air tertentu.
Dari sini, lahir juga ad-dawlah al-wathaniyah (negara bangsa). Maksud negara bangsa adalah negara menjadi milik seluruh warga negaranya tanpa ada diskriminasi antara yang satu dengan yang lain, baik itu menyangkut perbedaan etnis maupun agama dan lainnya, maka disitulah lahir yang namanya ukhuwah wathaniyah.
Benar apa yang dirumuskan oleh Kiai Ahmad Siddiq tentang adanya tiga macam ukhuwah. Ukhuwah Islamiyah, wathaniyah, basyariyah. Dan antara yang satu dengan yang lain tidak saling menafikan.
Salah satu doa yang banyak dipanjatkan oleh Nabi Saw adalah “Wahai Tuhan dan Tuhan segala-galanya aku bersaksi bahwa hamba seluruhnya adalah saudara.” Berangkat dari sini, maka lahirlah ukhuwah basyariyah.
Sekiranya ada dua orang yang sama-sama muslim, maka mereka diikat dengan tiga ukhuwah. Pertama ukhuwah Islamiyah, dan kalau kedua-duanya adalah dari negara yang satu, maka diikat dengan ukhuwah wathaniyah. Dan sekiranya dia bukan Islam, maka hanya diikat dengan satu ukhuwah basyariyah atau insaniyah.
Terakhir, Kiai Afif mengatakan, bahwa kewarganegaraan sesungguhnya merupakan ruh wasiqotil Madinah adalah ruh dari pada Piagam Madinah. Ketika Nabi Muhammad Saw hijrah dari Mekah ke Madinah, saat itu penduduk Madinah terdiri dari berbagai macam pemeluk agama. Ada yang musyrik, munafik, Yahudi dan Nasrani. Mereka dikumpulkan oleh Nabi Muhammad Saw., dan lahirnya kemudian piagam Madinah.
Artinya, bagaimana pun, mereka memiliki hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Salah satu item dari Piagam Madinah adalah adanya at–takasur, at-ta’awun, an-anusro dan seterusnya. Ini artinya, bahwa konsep kewarganegaraan di dunia modern memiliki yang sangat kuat di dalam di dalam khazanah-khazanah keislaman. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.