Majalahaula.id – Sudah jelas bahwa, al-Qur’an turun dalam suatu konteks kesejarahan. Dalam ilmu al-Qur’an, konteks yang melatari kehadiran al-Qur’an itu disebut asbab al-nuzul, yaitu sebab-sebab yang mengitari turunnya al-Qur’an. Dengan demkian, seseorang tak mungkin bisa mengerti makna al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan sebab kehadirannya. Lebih dari itu, mengetahui sebab turunnya suatu ayat, jelas akan membantu seseorang dalam memahami makna dan pengertian ayat tersebut.
Asbab al-nuzul sendiri, ada yang bersifat personal-individidual dan ada yang bersifat sosial, yaitu menyangkut struktur dan relasi-relasi sosial ekonomi-politik masyarakat Arab ketika al-Qur’an itu turun. Itu sebabnya, al-Syathibi mempersyarakatkan seorang mujtahid adalah orang yang mengerti adat-kebiasaan bahkan sosio linguistik masyarakat Arab.
Dengan perkataan lain, seorang mujtahid tak cukup hanya mengerti peristiwa-periswa personal yang menyertai turunnya al-Qur’an. Akan tetapi, perlu juga mengerti peristiwa-peristiwa struktural yang menjadi lanskap kehadiran al-Qur’an. Seperti, al-Qur’an misalnya turun dalam konteks masyarakat pagan, masyarakat patriarkhi, masyarakat komunal-tribal dalam suasana Mekah yang tandus-kering dan Madinah yang sedikit lebih subur.
Alih-alih harus mengerti, konteks-konteks itu, suka atau tidak, terekam dengan baik dalam kitab suci al-Qur’an, dan tentu saja menjadi sebab kehadirannya. Itu sebabnya, tak keliru ketika seseorang berkata bahwa, al-Qur’an dalam beberapa hal merupakan cerminan dari kondisi dan adat istiadat yang berkembang ketika itu.
Ketika al-Qur’an berkata bahwa, Allah Swt mengutus setiap Rasul melalui “lisan kaumnya” (bi lisani qawmihi, QS.14: 4), itu merupakan justifikasi doktrinal atas gagasan bahwa pesan wahyu telah diadaptasikan pada lingkungan budaya, sejarah, dan linguistik manusia. Dari berbagai adat kebiasaan masyarakat Arab itu ada yang dimodifikasi dan dilanjutkan oleh Islam.
Namum, ada juga yang dibuang karena sudah tak relevan dengan konteks zaman dan capaian peradaban. Salah satu contoh dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang dimodifikasi untuk kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah, kebiasaan masyarakat berthawaf di Ka’bah, sa’i, dan berkemah di sekitar bukit Arafah.
Sementara, tradisi masyarakat Arab yang dibuang sama sekali adalah tradisi menyembah berhala dan patung. Ungkapan Arab yang relavan adalah al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah yaitu, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Islam tak menentang tradisi. Tapi, Islam menolak kecenderungan sekelompok orang yang menuhankan tradisi. Al-Qur’an mengkritik kebiasaan masyarakat yang menempatkan tradisi leluhur sebagai sesuatu yang benar tanpa perlu ada kritik. Kecenderungan masyarakat Arab yang menuhankan tradisi leluhur itu dideskripsikan dalam al-Qur’an surah al-Zuhruf: 23-24.
Dalam pandangan al-Qur’an, tak seluruh unsur dalam tradisi itu baik. Karena itu, bersikap kritis terhadap tradisi sangat dibutuhkan terutama untuk kepentingan transfomasi sosial. Al-Qur’an pun tak menutup mata terhadap tindakan tidak manusiawi dan diskriminatif terhadap perempuan. Kehadiran al-Qur’an bahkan untuk menata relasi sosial laki-perempuan yang berkeadilan.
Al-Qur’an pun memberikan kritik sangat keras terhadap ketimpangan ekonomi di Semenanjung Arabia saat itu. Al-Qur’an tak membiarkan masyarakat Arab pagan yang menyembah berhala. Kehadiran al-Qur’an justru untuk merombak keyakinan masyarakat Arab yang tak rasional itu.
Dengan itu, ada perubahan praktek dan ritus peribadatan, dari menyembah berhala ke menyembah Allah Swt. Jika dalam politeisme setiap Tuhan merepresentasikan satu wajah personal, maka Tuhan dalam monoteisme yang dibawa al-Qur’an adalah Allah Yang Satu dengan kuasa yang mutlak-tak terbatas.
Semangat transformasi al-Qur’an yang demikian itu, saya kira perlu terus diletastarikan dengan beberapa cara berikut. Pertama, al-Qur’an tak cukup hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah. Artinya, makna terdalam al-Qur’an harus diungkap demi kerja perlindungan terhadap kelompok yang tertindas, baik secara ekonomi maupun sosial-politik.
Pengungkapan terhadap makna al-Qur’an itu bisa dilakukan dengan penghampiran yang bersifat historis. Menurut Sachiko Murata dan William C. Chittick, ketika orang ingin menyatakan bahwa al-Qur’an bisa dipahami dengan kondisi-kondisi hostoris, para mufasir al-Qur’an bisa berkata bahwa lingkungann historis itu dengan sendirinya merupakan ayat-ayat Allah Swt. Yang satu adalah ayat Tuhan yang terakumulasi dalam kitab suci, sedangkan yang lain merupakan ayat Tuhan yang terhampar dalam masyarakat.
Kedua, kita perlu mengetahui jenis-jenis transformasi yang ditempuh al-Qur’an. Suatu waktu al-Qur’an menempuh perubahan secara radikal, dan pada waktu yang lain perubahan itu dilakukan secara bertahap. Politeisme dalam semua bentuknya seperti penyembahan berhala dikomplain al-Qur’an sejak awal.
Konsep tauhid yang dikampanyekan al-Qur’an tak dinegosiasikan dengan tradisi penyembahan patung dan berhala yang sedang berlangsung di lingkungan masyarakat Arab ketika itu. Bahkan, disebut dalam al-Qur’an (al-Nisa’: 116) bahwa dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni.
Namun, terhadap perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait dengan tauhid, al-Qur’an melakukan perubahan secara gradual. Misalnya, praktek meminum khamr yang sudah berlangsung lama. Bahkan, telah menjadi tradisi masyarakat Arab secara kolektif tak diharamkan al-Qur’an secara sekaligus.
Al-Qur’an mengawali responsnya dengan menjelaskan sisi-sisi negatif dari minuman khamr, lalu tak diperkenankannya menimum khamr ketika hendak shalat, hingga dinyatakan bahwa meminum khmar itu adalah haram. Pengaharaman khamr jauh belakangan, hanya beberapa tahun sebelum Rasulullah Saw meninggal dunia. Ini karena sejak awal telah dipahami bahwa, mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berurat-berakar membutuhkan proses penahapan untuk mengubahnya.
Penahapan aturan seperti yang dilakukan al-Qur’an ini saya kira amat diperlukan dalam konteks pembuatan kebijakan publik, atau undangundang dalam dunia modern sekarang. Artinya, setiap pembuat kebijakan publik perlu memperhatikan kondisi obyektif dan tingkat kesiapan masyarakat sekiranya sebuah undang-undang hendak diterapkan.
Karena, kebijakan publik atau undang-undang yang dibuat tanpa memperhatikan keadaan masyarakat yang menjadi obyek kebijakan, itu hanya akan mengantarkan produk perundangan tersebut berupa tumpukan kata-kata yang tak berguna.
Ketiga, hermeneutika perlu dipertimbangkan sebagai salah satu metodologi untuk membaca teks al-Qur’an. Hermeneutika biasanya dipahami sebagai ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau peristiwa di masa lalu bisa dipahami, dan tetap bermakna secara eksistensial dalam konteks situasi sekarang.
Rudolf Bultmann berkata, biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini. Banyak para penafsir al-Qur’an kontemporer berpendapat, bahwa dimensi-dimensi baru dari sebuah teks lama termasuk teks al-Qur’an, akan bisa ditemukan jika sang penafsir menggunakan hermeneutik.
Syahdan. Hermeneutika tentu tak perlu diposisikan sebagai metode tunggal dan pokok untuk membaca al-Qur’an. Dengan kata lain, hermeneutika harus kita letakkan sebagai pelengkap dari metode penafsiran al-Qur’an yang sudah ada dalam Islam seperti ushul fiqh. Kenapa demikian?.
Sebab, banyak kata dan kalimat yang tak bisa ditembus dengan ushul fiqh, tapi ia bisa diungkap makna terdalamnya sekiranya kita menggunakan hermeneutika. Namun, perlu dicatat juga, sebagaimana ushul fiqh memiliki keterbatasan dan tak bisa diabsolutkan, maka demikian juga halnya dengan hermeneutika. Wallahu a’lam bisshawab.
)* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.