Majalahaula.id – Barangkali tidak berlebihan kalau soal implementasi demokrasi di Indonesia ini harus berguru kepada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden Ke-4 RI itu menjadi tokoh yang inklusif, sehingga keberadaannya diterima dan dibutuhkan oleh sejumlah kalangan. Itulah yang dikatakan M Atho’illah Shohibul Hikam, Menteri Negara Riset dan Teknologi di era Presiden Gus Dur.
Pria yang akrab disapa AS Hikam ini menyampaikan, bahwa presiden atau calon presiden atau politisi atau pemimpin, masing-masing punya paradigma tersendiri untuk dicoba, diterapkan, dikembangkan di dalam kesempatan kalau dia mendapatkan posisi dan sebagainya. Tidak terkecuali Gus Dur memiliki paradigma yang semua sudah sangat familier, ketika Gus Dur masih hidup, melalui tulisannya, melalui kegiatannya, melalui ceramahnya dan lain-lain.
“Kalau dari pradigma Gus Dur yang saya ketahui dan saya gunakan sebagai seorang Gusdurian,” ungkapnya.
Menurut dia, dari paradigma itu, pertama Gus Dur sangat komitmen dengan penegakan demokrasi. Kedua, akar kebangsaan dan akar keislaman dalam pengertian yang dipahami oleh Nahdatul Ulama. Ketiga, Gus Dur seorang yang humanis, yang memiliki komitmen terhadap kemanusiaan. Keempat, Gus Dur itu tentu antikekerasan dari sinilah Gus Dur menjadi tokoh yang sangat bisa inklusif didukung oleh semua pihak, bukan hanya NU atau orang Islam secara umum, tapi juga oleh kaum minoritas.
Ketika Gus Dur menjadi seorang presiden pun, empat prinsip itu tetap dijalankan. Sikap humanisme kepada semuanya tetap digunakan. Sehingga orang melihat sosok insklusif yang bisa melindungi semua kelompok, termasuk kelompok minoritas. Kemudian bisa melindungi kelompok-kelompok minoritas seperti etnis Cina, Papua, dan lain sebagainya.
“Itu semua untuk kemanusiaan. Itu menunjukkan kalau Gus Dur mempunyai akar yang kuat nilai-nilai keislaman atau ke-NU-an. Kelihatannya itulah yang menjadi pegangan Gus Dur,” ujarnya.
AS Hikam menilai prinsip ajaran Gus Dur di tahun politik 2024 masih belum terlihat apakah kelanjutan yang dibawa oleh Gus Dur itu muncul, yang terjadi justru sekarang ini kita bersitegang atau bersikeras, gaduh di perkara-perkara berkaitan dengan demokrasi, perkara yang berkaitan dengan humane raid, dan perkara berkaitan dengan berkebangsaan. Sehingga ada isu-isu tentang pemisahan atau pembelahan, bahkan ada yang disebut politik identitas.
Lebih lanjut, AS Hikam menerangkan tidak mungkin hidup tanpa identitas. Persoalannya, bagaimana mengelola identitas itu di bawah satu frame atau kerangka Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pengejawantahan secara konkret.
“Kita saat ini belum bisa melihat apakah 2024 itu akan menghasilkan suatu pemerintahan yang akan kembali kepada semangat reformasi atau makin lama makin jauh dari reformasi, karena oligargi dan pembelahan masyarakat itu makin tajam,” tuturnya.
Selengkapnya baca majalah Aula edisi Desemeber 2022.