Search

Gus Ulil: Hijab dan Teori Cahaya

1 of 3

Majalahaula.id – Adakalanya cahaya Tuhan tidak sampai kepada manusia. Kita tahu bahwa cahaya Tuhan adalah asal usul dari segala yang ada seperti dikatakan dalam kitab al-Hikam: “keberadaan (being) ini atau yang ada ini adalah gelap-kegelapan”. Itu artinya bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini adalah gelap, baru dikatakan terang jika ada suatu kebenaran sejati (al-haqq). Dengan kata lain, Tuhanlah yang membuat sesuatu itu menjadi terlihat terang-benderang.

Argumen ini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Albert Einstein, bahwa “salah satu hal yang menakjubkan di alam raya ini adalah segala sesuatu yang ada bisa dijelaskan”. Ada penjelasan misalnya, mengapa ada fenomena gravitasi, kenapa ada hukum kausalitas, kenapa sesuatu itu ada dan bisa dijelaskan?

Karena itu, ketika kebenaran datang, maka sesuatu yang semula “keos” kacau-balau menjadi sesuatu yang teratur (nomos: aturan) dan bisa diterangkan, karena nomos adalah suatu aturan-aturan hukum yang teratur. Inilah cahaya Tuhan menurut Einstein yang bertebaran di alam raya bisa terlihat dengan fakta-fakta teratur (bisa dijelaskan).

Menurut Gus Ulil, kategori ilmu cahaya ini adalah “al-ilm mukasyafah”. Adalah suatu lmu yang tujuannya untuk diketahui tanpa ada implikasi praktisnya. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah ada sesuatu yang bisa diamalkan dari ilmu Mishkat al-Anwar? Jawabannya tidak ada. Mengapa? Karena Mishkat al-Anwar dalam hal ini ilmu cahaya, hanya memberikan pengetahuan saja, sehingga setelah kita paham akan menjadi terang-benderang dengan cahaya.

Pepatah mengatakan: “sesuatu itu ketika sudah jelas asal usulnya, maka tidak akan mengherankan”. Semula yang pada awalnya mesterius, seketika akan hilang begitu saja (ketakjuban kita hilang). Namun demikian, tak semua cahaya itu bisa sampai kepada manusia karena terhijab. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Allah memiliki 70 hijab. Sebagian ada yang mengatakan 700 dan 70000 hijab yang menghalang”.

Yang terhijab dengan cahaya dan kegelapan

Termasuk golongan ini adalah, pertama mereka yang hijabnya (penghalang) terhalang dari cahaya kegelapan yang berasal dari al-hiss (panca indera). Kedua, kegelapan dari al-khayal, kekuatan yang bukan bagian indera tapi lebih tinggi dari indera seperti, kemampuan manusia merekam memori. Ketiga, kegelapan yang berasal dari kegiatan penalaran (silogisme). Ia tidak sampai pada cahaya kebenaran lantaran berfikir keliru, hingga akhirnya jatuh pada logical fallacy.

Golongan pertama adalah para penyembah berhala. Secara garis besar, mereka percaya akan adanya Tuhan, tapi konsepsinya keliru, sehingga ia menekatkan yang bukan Tuhan menjadi Tuhan. Bagi mereka Tuhan adalah sesuatu yang superior, lebih tinggi, berharga dan menang diatas jiwa-jiwa yang gelap. Alih-alih superior, justru mereka terhalangi (penjara) dengan kegelapan-kegelapan panca indera, sehingga tidak bisa melampaui akan alam-alam (dunia kodrati).

Mereka mengindentikan Tuhan dengan sesuatu yang bisa dilihat dan diraba (korporealistik dan materil). Oleh karena materil, mereka menjadikan batu-batu mulia seperti emas, perak, dan lainnya sebagai sosok yang digambarkan seperti Tuhan (menciptakan berhala lalu dianggap Tuhan). Karena ketikmampuannya melihat, mereka dihijab dengan cahaya keagungan Tuhan (al-izza) dan keindahan Tuhan (al-jamal).

Kedua, adalah sekelompok dari orang-orang Turki yang paling jauh (orang-orang Yunani seperti, Athena, Makedonia dan lainnya). Baginya, tidak ada agama dan hukum syariat, dalam hal ini hukum yang berasal dari wahyu (bukan dari hasil penalaran rasional). Mereka juga percaya akan adanya Tuhan, dan menyakini bahwa Tuhan adalah paling indahnya sesuatu yang indah.

Kalau kita merujuk kepada Filsafat Yunani, salah satu ajaran Filsafat Neo-Platonisme adalah “Yang Indah”. Dengan tokoh utamanya Plotinos, penafsir ajaran Plato yang banyak berpengaruh di abad pertengahan (keemasan Islam). Bukunya yang terkenal adalah “al-tasu’ah” yang mengupas tuntas tentang ajaran-ajaran keindahan.

Keindahan, jika mereka melihat sesuatu seperti pepohonan dan bebatuan, maka seketika mereka bersujud dan takjub. Jelasnya, mereka melihat Tuhan yang menitis (mereinkarnasi) dalam bentuk keindahan-keindahan yang sudah ada di alam raya. Namun, tak bisa dipungkiri, secara esensi mereka sama dengan orang-orang penyembah berhala (menggambarkan Tuhan dalam bentuk materil dan menyembah akan keindahan-keindahan semata).

Alih-alih menggambarkan Tuhan, mereka berkata, semua cahaya tidak sendirian memonopoli matahari (bukan sekedar matahari), tapi juga bisa berdiri sendiri bagi lainnya matahari (sesuatu yang bersifat konseptual dan maknawi). Tegasnya, mereka juga mengatakan tidak ada sekutu Tuhannya, karena baginya, Tuhan haruslah yang paling tertinggi (agung).

Dengan argument ini, secara tidak langsung, mereka menyembah akan cahaya yang mutlak (yang mencakup semua cahaya-cahaya di alam). Ironisnya, mereka juga menduga, bahwa cahaya mutlak ini adalah Tuhan yang sebenarnya. Kalau kita merujuk pada sejarah yang dialami al-Ghazali di Persia, kelompok-kelompok ini adalah Zoroaster. Konon, bangsa Persia mempunyai dua pandangan. Pertama Tuhan Kegelapan (sumber kejahatan) dan kedua Tuhan Cahaya (sumber segala kebaikan).

Inilah agama tsanawiyah atau dualisme (agama sebelum Zoroaster) yang muncul di Persia sekitar 1500 SM yang pada perkembangan berikutnya ada Nabi (pembaharu) didalam agama Persia yaitu Zoroaster (agamanya Zoroastrianisme). Baginya, Tuhan yang hakiki adalah hanya Tuhan Cahaya Mutlak. Karena itu dalam sejarah besar agama-agama dunia, agama ini disebut dengan agama monoteistik (agama tauhid).

Baca Juga:  Pentingnya Bermusyawarah (2): Meredam Terorisme

Lebih dari itu, kelompok ini juga menegaskan bahwa, tidak baik menisbatkan kejahatan-kejahatan kepada Tuhan. Tuhan Cahaya tidak bisa dianggap sebagai Tuhan yang bertanggung jawab menciptakan hal-hal jahat didunia, karena Tuhan Cahaya adalah Tuhan kebaikan. Dengan demikian, menurutnya, jika ada suatu kejahatan, otomatis pasti ada pihak ketiga yang bertanggung jawab akan lahirnya kehajatan-kejahatan.

Disamping membersihkan (tanzih) Tuhannya, rupa-rupanya ia juga menjadikan Tuhan Cahaya Mutlak dan Tuhan Kegelapan menjadi pertempuran yang abadi. Dan mengasal-usulkan alam ini dengan kegelapan-kegelapan.

Kelompok lain dalam kategori kedua ini adalah, mereka yang terhijab dengan sebagian cahaya-cahaya, dalam hal ini hijabnya berupa cahaya khayali (yang berasal dari pikiran). Istilah khayali dalam filsafat Ibnu Sina adalah satu konsep dan kekuatan dalam diri manusia yang paling rendah. Artinya, kekuatan ini berfungsi hanya untuk merekam data-data yang diperoleh dari panca indera (bersifat memorial).

Mereka hanya mampu melampui indera mata menuju pada kemampuan yang lebih tinggi dalam diri manusia (al-khayal), dan menetapkan akan hal-hal yang bisa di indera mata (tak mungkin bisa melewati khayal). Pun juga, mereka menyembah yang maujud bersinggah di Arasy. Kelompok inilah yang disebut al-Ghazali dengan kelompok mujjassimah, yang dalam khayalnya Tuhan itu ada jism-nya.

Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kelompok-kelompok inilah yang paling rendah disamping juga ada kelompok karramiyah. Sementara yang paling tinggi diantara kelompok kedua ini adalah, mereka yang mengingkari kejisman Tuhan, dan segala sifat-sifatnya jism.

2 of 3

Golongan ketiga, adalah orang-orang terhijab dengan cahaya ketuhanan yang bersifat penalaran (silogisme: premis mayor, minor dan konklusi) logical fallacy. Silogisme adalah salah satu prosedur cara berpikir yang dipakai oleh semua manusia. Di sadari atau tidak, manusia pasti bernalar dengan proses logika (muqayasah al-aqliyah). Karena pada dasarnya, manusia diciptakan oleh Tuhan diberi kemampuan untuk bernalar.

Syahdan, kelompok ketiga ini adalah orang-orang yang tak bisa sampai kepada ma’rifah karena terhijab dengan penalaran-penalaran yang keliru. Sehingga mereka menyembah Tuhan yang bersifat mendengar dan melihat yang dibersihkan dari segala arah (tidak menggambarkan Tuhan yang bertempat atau Tuhan yang mutahayyiz).

Namun demikian, mereka masih saja memahami sifat-sifat Tuhan dengan kesesuaian sifat-sifat mereka. Artinya, ia membayangkan sifat-sifat Tuhan sama halnya dengan sifat manusia. Pendek kata, kemampuan mendengar dan melihat Tuhan sama (disamakan) dengan manusia. Bahkan, kadang-kala mereka mendeklarasikan firman Tuhan sebagai (layaknya) suara dan huruf seperti pembicaraan kita. Dalam filsafat Islam, kelompok ini disebut antropomorfis. Mereka berkeyakinan bahwa Tuhan secara bentuk sama dengan manusia pada umumnya (musabbihah).

Ada juga sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa firman Tuhan (kalam Tuhan) sama dengan “kretek” pernak-pernik dalam hati (hadits al-nafs). Meski demikian, sebenarnya, konsepsi mereka sudah (mungkin sedikit) berada pada jalur yang benar, karena Tuhan sudah tidak digambarkan dengan jasad, jism dan sesuatu yang materil. Hanya saja kegelapan-kegelapan mereka berasal dari muqayasah al-aqliyah.

Sekiranya mereka ditanya, misalnya, bagaimana hakikat mendengar dan melihatnya Tuhan? Dia akan menjawab, mendengar dan melihatnya Tuhan tidak sama dengan mendengar dan melihatnya manusia. Tentu secara harfiyah, mereka menafikan dan menolak adanya keserupaan mendengar dan melihatnya Tuhan dengan manusia. Namun, jika mereka ditanya lebih dalam, mereka akan kembali dan menjawab, yang secara substansi ada keserupaan antara mendengar dan melihatnya Tuhan dengan manusia. Disinilah, menurut al-Ghazali, kegelapan-kegelapan terjadi pada mereka (jatuh pada logical fallacy).

Makna-makna seperti mendengar, melihat dan lainnya, mereka tidak mengetahuinya. Begitu juga, dalam masalah iradah-nya (kehendak) Tuhan, yang ketika ditanya lebih jauh, mereka akan menjawab bahwa kehendak Tuhan adalah sesuatu yang baru dan sama dengan kehendak manusia. Karena kehendak bagi mereka adalah sesuatu yang ada pada diri tiap manusia. Karena itu, jika kita menghendaki sesuatu, yang terjadi adalah kita berkehendak dan menghendaki sesuatu.

Termasuk dalam golongan yang ketiga adalah mereka yang terhijab dengan kemurnian cahaya (golongannya sangat banyak sekali). Al-Ghazali mengklasifikasikan golongan ini menjadi beberapa golongan. Pertama, sekelompok dari mereka mengetahui (mengenal) makna sifat-sifat Tuhan secara tepat mendalam (tahqiq), dan juga mengetahui nama sifat-sifat Tuhan seperti kalam, sifat kehendak, sifat kemampuan, sifat ilmu dan sifat-sifat Tuhan lainnya. Karena dengan sifat-sifat Tuhan, seseorang bisa sampai dan mengenal Tuhan.

Bahkan mereka mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan seperti sifat ilmu, kehendak, dan kalam berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia. Namun demikian, fatalnya, orang-orang ini tidak mau memahami Tuhan dengan sifat-sifat itu sendiri (secara otonom). Baginya, seolah-olah sifat Tuhan tidak sempurna jika tidak disandingkan dengan objek diluarnya (dalam filsafat fenomenologi Edmund Husserl menyebutnya dengan intensionality”).

Baca Juga:  LKKNU Pantau Program Konseling Keluarga Sakinah di Surabaya

Kedua, adalah mereka yang melihat dunia atas (langit) mengandung banyak keragaman benda (ktasroh). Benda-benda ini semuanya bergerak. Pertanyaannya adalah, dari mana asal-usulnya gerakan ini ada? Yang pasti tentunya kalau ilmu fisika menjawabnya karena ada hukum-hukum alam, termasuk ada gaya gravitasi dan lain sebagainya.

Namun hal ini berbeda dalam pandangan filosof Yunani yang di ikuti oleh filosof muslim seperti al-Ghazali misalnya mengatakan, bahwa benda-benda itu bergerak karena ada yang menggerakkan-penggerrak (al-muharrik). Dan penggeraknya adalah sesuatu yang lain (ada yang menggerakkan), dalam bahasa agama disebut dengan malaikat. Malaikat yang menggerakkanya punyak hubungan dengan cahaya-cahaya Tuhan; ibarat bintang-bintang atau benda langit yang mengeluarkan cahaya.

Tak hanya itu, kelompok ini juga berpandangan, bahwa langit-langit yang dekat dengan bumi berada dibawah kandungan atau berada dibawah langit diatasnya yang mengelilinginya (setiap satu langit berada dibawah langit lain, dan begitu seterusnya), hingga langit paling jauh yang penggeraknya hanya satu (malaikat penggeraknya hanya satu dan inilah yang disebut Tuhan). Pandangan ini muncul karena, manusia melakukan observasi benda-benda langit dari arah bumi yang kelihatannya banyak bintang-bintang. Al-Farabi dan Ibnu Sina menyebut pandangan ini dengan “teori emanasi”.

Pertanyaanya adalah, dimanakah salah mereka? Mereka mengatakan, bahwa Tuhan itu tidak bekerja menggerakkan langit secara langsung. Artinya, Tuhan masih butuh seorang asisten (malaikat) satu yang menjadi sumber dari segala gerak itu. Para filosof Yunani sampai akan pandangan-pandangan ini karena, mereka adalah orang-orang yang ingin mentanzihkan Tuhan dari seluruh unsur-unsur ktasrah. Dengan demikian, segala hal yang mengandung unsur keragaman, maka harus dibersihkan dari Tuhan. Salah satu kalangan Islam yang terpengaruh dengan pandangan ini adalah Muktazilah (yang menjadi sasaran kritik ulama Asy’ariyah).

Menarik, Bertens dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani yang ditulisnya, menjelaskan Allah sebagai penggerak pertama. Tapi ini adalah rujukan ia beliau ambil langsung dari karya Aristoteles dalam Metaphysica, buku XII. Dalam buku tersebut juga diakui sebagai gerak abadi yang terdapat di dunia. Bagi Aristoteles, gerak alam jagat raya tidak mempunyai awal ataupun akhir. Sebab, sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain. Tetapi ada satu penggerak yang menyebabkan segala sesuatu bergerak tapi ia sendiri tidak digerakkan.

Maka, penggerak pertama bersifat abadi, dan begitu juga gerak yang disebabkan oleh penggerak tersebut. Penggerak ini rupanya terlepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai materi, mempunyai juga potensi untuk bergerak. Allah sebagai penggereak pertama tidak mempunyai potensi apapun juga. Allah harus dianggap sebagai “Aktus Murni”, yakni ia yang mengada secara murni, tanpa potensialitas menjadi yang lain.

Tak hanya itu, Bertens juga menambahkan bahwa bagi Aristoteles, Aktus Murni atau Actus Purus ini tidak lain adalah sebuah pemikiran saja. Karena Allah bersifat immaterial, karenanya ia tidak lain adalah kesadaran atau pemikiran. Aktus pemikiran ini rupanya berlangsung terus, tanpa karena tidak berada dalam keadaan potensi saja. Aristoteles rupa-rupanya membedakannya dari penyebab efisien. Sebab, jika penyebab efisien, maka ia akan mempengaruhi hasilnya dan dengan demikian ia mempunyai potensi. Allah adalah penyebab final. Semua yang ada, mengejar penggerak sempurna ini.

Maka, gerak dalam alam raya ini sama saja dengan gerak menuju Allah. Tapi harus diingat, bahwa Allah sebagai penggerak pertama tidak mengenal atau mencintai sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Sebab bagi Aristoteles, jika Allah mengenal dunia, Dia harus mempunyai potensi juga. Dan jika hal itu mungkin, maka Ia bukanlah suatu Actus Purus. Dari sini kemudian menjadi tampak bahwa pandangannya tentang penggerak pertama ini rupanya monoteisme, karena di akhir buku XII, ia menegaskan bahwa hanya ada satu penggerak yang tidak digerakkan.

Bertens juga mencatat dalam karya-karya lain, ternyata Aristoteles juga menyebut allah-allah lain, dalam bentuk jamak. Hal ini menjadi mungkin karena memang tidak ada data akurat yang menegaskan penolakan Aristoteles terhadap Politeisme sebagaimana yang dihidupi oleh sebagian orang sebangsanya pada waktu itu (mungkin semasa dengan Aristoteles).

Jelas sudah bahwa pemahaman Aristoteles tentang penggerak pertama, menghadirkan konsekuensi bahwa penggerak tersebut tidak lain adalah penggerak yang mengada secara sempurna tanpa ada potensial di dalamnya. Dari Aristoteles kita sudah mengerti bahwa sesuatu dikatakan sempurna apabila ia aktual; potensialitas selalu berati ketidaksempurnaan karena belum aktual.

Dengan demikian, sesuatu yang sempurna, merupakan apa yang aktual sebagai pengada. Dikatakan sempurna dalam hal ini berarti baik, Dia adalah kesempurnaan tertinggi dan kepenuhan segala kebaikan. Maka, apapun yang digerakkan oleh-Nya, memiliki kebaikan, namun sesuai dengan esensi mereka masing-masing.

Baca Juga:  Pentingnya Mengendalikan Diri Menurut Gus Ulil
3 of 3

Kita sudah menyelesaikan membahas orang-orang dan kelompok yang terhijab dengan cahaya, sebagian dari mereka gagal dalam memahami dan mengetahui Tuhan dengan tepat. Di bagian ketiga ini kita akan fokus membahas orang-orang yang (wushul) sampai kepada Tuhan. Siapakah mereka?

Adalah orang-orang yang tidak terjatuh kepada jebakan-jebakan yang terjadi pada kelompok-kelompok sebelumnya. Kelompok ini tidak terpukau dengan keindahan-keindahan cahaya, sehebat apapun cahaya sumbernya adalah Tuhan yang satu. Pikiran dan hatinya terpaut kepada yang menciptakan makhluk. Oleh karena itu, mereka bisa menembus segala hijab dan akhirnya sampai kepada Tuhan.

Secara manusiawi, bagaimanapun mereka akan tetap mengagumi ciptaan-ciptaan Tuhan, namun mereka lebih kagum akan sumber ciptaan itu yakni Tuhan. Inilah yang oleh al-Ghazali disebut al-Washilun orang-orang yang bisa sampai kepada Tuhan, dengan cara membersihkan (tanzih) Tuhan dari sifat-sifat yang menyerupai manusia.

Tanzih,Tuhan bisa dirasakan dengan pengalaman, dan sebagian pengalaman bisa diungkapkan dengan pengalaman manusia. Seperti al-Ghazali mengungkapkan pengalamannya dalam kitab Mishkat al-Anwar. Namun demikian, ungkapan pengalaman al-Ghazali dalam kitab Mishkat al-Anwar tak semuanya bisa mewakili Tuhan, hanya sebagian kecil saja.

Karena itu, kita tak bisa mengatakan apa yang diungkapkan itu adalah Tuhan. Jelasnya, Tuhan bisa dibahasakan dengan bahasa manusia, tapi itu bukan Tuhan. Yang dibahasakan itu bukan Tuhan (tujuannya untuk memudahkan memahami Tuhan, namun setelah dibahasakan itu bukan Tuhan yang sebenarnya).

Syahdan, kelompok ini juga terbagi menjadi beberapa bagian. Pertama, mereka yang penglihatannya terbakar. Artinya, segala sesuatu yang dia lihat selain Tuhan, akan terbakar. Dunia akan terbakar karena sinar kuat cahaya Tuhan, bahkan rusak-lebur (fana). Dia sudah menganggap selain Tuhan itu tidak ada (hancur). Meski sudah sampai (wushul), dia masih menyadari akan dirinya sendiri (masih sadar akan aku yang melihat engkau indah). Mereka memperoleh keindahan karena sampainya kepada Tuhan.

Kedua, adalah orang yang melampaui tingkatan pertama (elitnya para elit). Karena melampaui, mereka terbakar dengan kesucian-kesucian wajah Tuhan didalam diri mereka.  Kelompok ini melihat kesucian wajah Tuhan dalam dirinya, seolah keindahan Tuhan melebur dalam dirinya. Bahkan mereka mengalahkan kekuasaan kehebatan Tuhan. Ibarat seperti Nabi Musa yang semaput melihat keindahan Tuhan. Hingga akhirnya mereka menjadi larut bersama Tuhan dalam diri mereka. Al-Qur’an surah Al-Qasas mengatakan;

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۘ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Artinya: “Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (Al-Qasas:88).

Dalam kitab al-Munqid min al-Dhalal al-Ghazali mengatakan, jalan untuk sampai kepada Tuhan banyak sekali, diantaranya adalah, jalan orang-orang fiqh, orang kalam, orang falsafah dan orang kebatinan. Namun, jalan yang terbaik untuk sampai kepada Tuhan adalah jalannya orang-orang sufi (tasawuf).

Bagai kelompok-kelompok ini, firmah Allah diatas sudah menjadi “roso”. Karena itu, maka tingkatannya sudah diatas yang objektif. Mereka juga menyebut dirinya sudah menyatu-padu dengan Tuhan (al-ittihad). Meski ittihad, konsep ini jelas berbeda dengan apa yang dimaksud al-Hallaj. Karena hulul dan ittihadnya al-Hallaj adalah “yang bertempat dalam diri manusia”. Sementara al-Ghazali sendiri tak percaya akan adanya ittihad, karena masih adanya dualitas yang menyatu.

Dari kelompok ini ada juga yang tidak naik didalam proses menuju pada Tuhan. Naik, karena suluk kepada Tuhan adalah proses naik, sementara memahami munusia dan makhluk ada turun. Orang-orang ini naik-menaiki Tuhan tanpa adanya proses (meloncat dari tahapan-tahapan). Ibarat seniman dan ilmuan. Kita tahu, para ilmuan ketika memproses data membutuhkan waktu, sementara seniman ketika ada ide-ide, seketika langsung jadi, seolah-olah sudah mateng-paten.

Dari sini kita tahu bahwa jalan menuju Tuhan sangat beragam. Misalnya, Nabi Ibrahim as ketika mencari Tuhan dengan proses melihat bintang-bintang, rembulan, matahari, hingga akhirnya menemukan yang Tuhan hakiki. Berbeda dengan Nabi Muhammad saw yang langsung menemukan dan berjumpa dengan Tuhan yang hakiki.

Namun terlepas dari itu semua, menurut Gus Ulil, bahwa untuk memahami Tuhan yang sesungguhnya, kita harus melalui dengan jalan-jalan (suluk) yang terjal, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Misteri. Jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama Islam seperti al-Ghazali misalnya, jalan kombinasi dari dua hal, yaitu jalan yang mengikuti wahyu disertai dengan penalaran-penalaran dan silogisme yang tepat benar. Wallahu a’lam bisshawab.

 

)* Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di Ponpes Nurul Jadid, dan Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA