Majalahaula.id – Presiden Jokowi kembali mengingatkan dunia penuh dengan ketidakpastian termasuk soal ancaman krisis pangan. Meski Indonesia dianggap lebih baik, karena baru saja dapat penghargaan swasembada pangan, namun kondisi secara global tetap harus diperhatikan sebagai dasar untuk merumuskan strategi pencegahan.
“Kita mendapatkan sertifikat penghargaan Indonesia swasembada beras sejak 2019, dianggap punya punya sistem ketahanan pangan yang baik dari IRRI, tapi jangan senang dulu, karena dunia, penuh ketidakpastian, krisis pangan, krisis energi,” kata Jokowi dalam Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di Jakarta, dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis kemarin.
Jokowi bilang, semua negara sulit dan ekonomi global sangat sulit diprediksi dan sulut dikalkulasi oleh siapan arahnya ke mana, dan penyelesaiannya. Ia menjelaskan saat ini ada sekira 345 juta orang dari 82 negara menderita kelaparan karena krisis pangan akut. “Ini saya terus ulang-ulang supaya kita sadar agar ada sense of crisis. Yang betul-betul mengenaskan ada 19.700 orang setiap hari meninggal karena kelaparan,” ujar Jokowi.
Mengutip dari Detik.com, sinyal peringatan menyangkut kondisi ekonomi global semakin menguat lantaran inflasi yang begitu tinggi. Bahkan, peluang terjadinya resesi global telah mencapai 98,1%. Kabar ini disampaikan oleh Ned Davis Research, berdasarkan model probabilitas yang diujikannya. Menurutnya, model resesi setinggi ini terakhir kali terjadi pada 2020, serta pada krisis keuangan global 2008 dan 2009.
“Ini menunjukkan bahwa risiko resesi global yang parah meningkat, untuk beberapa waktu di 2023,” tulis ekonom di Ned Davis Research dikutip dari CNN, Kamis kemarin.
Ketika bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed meningkatkan upayanya untuk mengendalikan inflasi, para ekonom dan investor semakin gelisah. Berdasarkan survei World Economic Forum dalam sebuah laporan pada Rabu lalu, 7 dari 10 ekonom mempertimbangkan resesi global agak mungkin terjadi.
Para ekonom mengharapkan adanya penyesuaian upah terhadap inflasi dengan harapan kemungkinan resesi akan menurun sepanjang sisa tahun. Lebih lanjut, lonjakan harga pangan dan energi yang menyebabkan kenaikan biaya hidup, turut mendatangkan kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan.
Sebanyak 79 persen ekonom yang disurvei memperkirakan kenaikan harga memicu kerusuhan sosial di negara-negara berpenghasilan rendah, dibandingkan di negara-negara berpenghasilan tinggi yang hanya 20 persen.
Para investor pun turut merasakan kegelisahan, yaitu pada Senin kemarin, Dow Jones Industrial Average tenggelam ke bear market untuk pertama kalinya sejak Maret 2020. “Kasus utama kami adalah pendaratan keras pada akhir 2023. Saya akan terkejut jika kita tidak mengalami resesi di 2023,” kata miliarder Stanley Druckenmiller.
Bahkan, pejabat Federal Reserve, telah mengakui adanya risiko penurunan yang semakin besar. Namun, ada titik terang terutama untuk AS.
Secara historis sejak 1969, pasar tenaga kerja AS tetap kuat dengan tingkat pengangguran mendekati level terendah. Hal ini didukung oleh konsumen yang terus membelanjakan uang dan keuntungan perusahaannya.
Dengan berkaca pada hal tersebut, ada harapan inflasi terburuk AS dalam 40 tahun terakhir ini akan mereda dalam beberapa bulan mendatang, karena suplai mengejar permintaan. Para peneliti Ned Davis juga menambahkan, meskipun risiko resesi meningkat, model probabilitas resesi AS masih pada level terendah. NF