Majalahaula.id – Cendekiawan Muslim ini mengemukakan bahwa tantangan di masa kini dalam mempelajari Al-Qur’an yakni menghadapi sekian banyak pemahaman. Tantangan itu menyangkut pemahaman seseorang tentang Al-Qur’an dan menyangkut cara kita mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat.
“Ada sebuah ungkapan bahwa ada wujud Tuhan yang melalui hukum-hukum-Nya terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Bahkan, dalam segala wujud. Ini berarti bahwa di mana pun Anda berada di Indonesia atau di luar negeri, di bumi, di tengah lautan, atau di angkasa pasti terjadi perubahan,” katanya, Kamis (22/09/2022).
Menurut Prof Quraish, ada hal yang tidak berubah, yaitu kalamullah atau firman Allah, yang berubah hanya penafsirannya. Karena Al-Qur’an memerintahkan setiap orang untuk memikirkan dan mempelajarinya. Sedangkan setiap orang bisa berbeda dengan yang lain akibat perbedaan yang ada dalam dirinya, termasuk perbedaan ilmu, budaya, dan lainnya.
“Kita tidak ingin mengubah teks-teks Al-Qur’an. Tetapi, kita berkewajiban mengubah penafsirannya sesuai perkembangan masa kita tanpa melanggar ketentuan agama. Ini yang sulit, bagaimana kita memajukan sesuatu yang baru menurut pandangan kita tetapi tidak melenceng dari garis-garis Al-Qur’an,” tuturnya.
Pengarang Tafsir Al-Misbah itu mengungkapkan, jika kita ingin memelihara turats, apa yang dihasilkan ulama zaman masa lalu maka dapat dilakukan melalui penyeleksian. Jika baik atau lebih baik dari apa yang diajukan orang sekarang maka dapat diambil. Tapi, jika tidak maka harus mempertahankan tradisi lama yang baik.
“Untuk memberikan sesuatu yang baru dan tidak melenceng itu ada kaidah-kaidah yang harus dikuasai. Tanpa penguasaan kita akan mengemukakan sesuatu yang baru tapi ditolak agama,” tandas doktor jebolan Universitas Al-Azhar Mesir ini.
Prof Quraish menyebutkan ada prinsip pokok dalam konteks mempelajari Al-Qur’an. Pertama, hendaklah sadar bahwa tidak boleh ada suatu penafsiran yang bertentangan dengan ushuluddin (pokok-pokok agama). Semua yang bertentangan dengan ushuluddin harus ditolak.
“Kedua, tidak boleh ada penafsiran yang bertentangan dengan bahasa yang digunakan pada masa turunnya Al-Qur’an, dan juga tidak bertentangan dengan kaidah kebahasaan yang disepakati,” ujarnya. (Ful)