Majalahaula.id – Peradaban tidak akan pernah ada tanpa kebudayaan dan yang semestinya berada di garis terdepan adalah pelaku kebudayaan sama-sama melakukan perjuangan.
Pernyataan ini disampaikan Sekretaris Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU) ini pada Festival Sapparan Budaya yang dihelat Lesbumi NU Sumenep, Jawa Timur, Sabtu (17/09/2022).
“Ibu-ibu menceritakan dongeng sebelum tidur kepada anaknya bagian dari membangun kebudayaan. Ibu-ibu yang berdiri di atas mobil pickup setelah mengikuti pengajian, di situlah visi kebudayaan dibangun dan peradaban dimulai. Jangan pernah berhenti, terus bangun kebudayaan,” pintanya saat memberikan orasi kebudayaan.
Inayah menegaskan, kejahatan besar suatu rezim termasuk rezim otoriter, bukanlah jumlah manusia yang dibunuh, tetapi rezim itu membunuh impian dan mimpi masyarakat yang ada di dalam negaranya.
“Visi peradaban NU adalah toleransi dan egalitariansime diwujudkan di dunia nyata. Kalian ada di garis terdepan. Indonesia dibangun dari simpul masyarakat yang seperti ini. Inilah tulang punggung dan saraf Indonesia yang menjadikannya bergerak sebagai manusia yang maju,” ungkapanya pada kegiatan yang berlangsung di Gedung Islamic Center Batuan, Sumenep.
Menurut Inayah, PBNU mewacanakan dan kemudian menjadi visi PBNU agar membawa visi peradaban dunia. Hal ini berangkat dari runtuhnya peradaban Utsmaniyah, sehingga muassis NU berupaya memunculkan visi peradaban baru, karena peradaban sebelumnya telah hancur.
“Apakah Borobudur menggambarkan peradaban seluruh Indonesia? Ingat, ada peradaban sebelumnya yang sulit ditemukan dokumentasi, bentuk dan materialistiknya. Bagaimana mungkin kita berbicara peradaban, sedangkan kita sebagai pembawa gerbong kebudayaan tidak diletakkan pada gerbong yang tepat dan tidak berada dalam barisan terdepan,” terangnya.
Ia menceritakan diundang oleh Dirjen Kebudayaan yang mempersoalkan G20 atau forum petinggi dunia yang membicarakan permasalahan dunia. Salah satu yang paling genting adalah perubahan dan krisis iklim yang akan berdampak pada eksistensi dunia.
“Jika kita ingin mencari solusi, maka yang ada di garis terdepan adalah kita semua, bukan petinggi itu. Indonesia tidak dibangun oleh petinggi, tetapi kebiasaan dan kebudayaan yang selalu dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat,” sergahnya. (Ful)