Majalahaula.id – Pada hakikatnya tidak ada cela pada ilmu itu sendiri. Pengetahuan yang sesuai dengan realitasnya, termasuk misalnya ilmu sihir (sebagai ilmu “thok”), tidak dicela. Tetapi ilmu menjadi tercela atau jelek karena alasan-alasan di luar ilmu itu sendiri. Bukan intrinsik dalam ilmu itu sendiri.
Misalnya ilmu tersebut berbahaya atau bisa mencelakakan diri sendiri atau orang lain seperti, mempraktekan ilmu sihir untuk mencelakakan orang lain. Jika ilmu sihir dipelajari sebagai bagian dari ilmu antropologi, maka dibolehkan karena ini adalah praktek yang menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Artinya bukan untuk dipelajari supaya bisa digunakan untuk mencelakakan orang lain.
Contoh lain misalnya adalah ilmu nujum atau ilmu perbintangan.z pada dasarnya, ilmu nujum sendiri penting dalam dunia Islam, karena digunakan untuk navigasi pelayaran, penentuan awal bulan dan menentukan arah kiblat.
Penyalahgunaannya adalah ilmu nujum digunakan untuk meramal. Karena para peramal mempercayai pergerakan bintang-bintang dan planet-planet di langit memiliki pengaruh bagi segala hal di bumi seperti, nasib manusia dan bencana alam. Seolah-olah tiada campur tangan Allah SWT sama sekali.
Hakikatnya, ilmu-ilmu itu sendiri netral, karena diselewengkan oleh manusia, maka ilmu tersebut menjadi jelek karena melawan akidah. Padahal jika ilmu-ilmu dipelajari dan diterapkan untuk meraih ridha Allah SWT, dan digunakan untuk membangun peradaban manusia yang baik (untuk kebaikan seluruh mahluk hidup), maka ilmu tersebut menjadi sangat berkah.
Ilmu-ilmu tentang manusia dibutuhkan untuk mengatur ketertiban manusia karena kompleksitas manusia itu sendiri yang tidak bisa di-eksakta-kan. Ruhani manusia, emosi manusia, perasaan manusia dan perilaku manusia tidak bisa diprediksikan. Karena manusia adalah obyek organik dengan ruh, sehingga tidak mungkin direduksi menjadi obyek non-organik semata (seperti planet, mineral dan benda mati lainnya), bisa diteliti secara eksakta walau secara fisik bisa diteliti (ilmu kedokteran fisik).
Wilayah metafisik (wilayah ghaib, seperti ruhani manusia dan zat Allah SWT) tidak bisa di-eksakta-kan, sehingga anggapan kaum atheis atau ilmuwan yang berkesimpulan bahwa alam semesta berfungsi tanpa perlu campur tangan Tuhan, itu adalah sangat tidak benar.
Demikian juga kritik al-Ghazali terhadap ilmu nujum (pada masanya) yang diselewengkan karena kesimpulan keliru seperti, bulan berpengaruh terhadap pasang surut air maka bulan juga berpengaruh pada nasib manusia. Oleh sebab itu, nasib manusia bergantung pada gerak alam semesta, dan karenanya juga tidak ada campur tangan Tuhan terhadap takdir atau nasib manusia.
Distorsi makna sejumlah ilmu karena perkembangan sejarah. Menurut al-Ghazali, ada lima istilah pada masa generasi salaf (generasi awal Islam, generasi sahabat, tabi’ut tabi’in) yang dipahami dengan benar, namun karena perkembangan sejarah Islam jadi terdistorsi, dan ini yang di kritik oleh al-Ghazali.
Pertama adalah Fiqh (al-fikhu), adalah memahami sesuatu dan pada masa Rasulullah SAW sebagai jalan menuju akhirat. Pada perkembangannya kemudian dipahami sebagai ilmu jual beli, pernikahan, menstruasi dan lainnya. Selain itu, ahli fikih dipahami sebagai ahli menang debat.
Bukan berarti ilmu fikih itu jelek, karena pada dasarnya ilmu fikih dibutuhkan untuk menata kehidupan bermasyarakat, dibutuhkan penguasa untuk menerapkan hukum yang benar dan adil dengan bantuan (fuqaha) ahli fikih. Namun jika tidak dipahami dan digunakan sebagai jalan menuju akhirat, maka ini penyelewengan dari ilmu fikih itu sendiri.
Sebuah hadits mengatakan: “Maukah engkau kuberi tahu apakah ahli fikih (al-fakih) itu? Dan dijawab “mau ya Rasulullah.” Lalu dijelaskan, “ahli fikih adalah orang yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah SWT dan juga tidak meninggalkan al-Qur’an dan berpaling ke yang lain.”
Kedua adalah, al-Ilmu. Istilah ilmu sekarang dimaknai sebagai pengetahuan untuk memenangkan perdebatan. Al-Ghazali cukup jengkel pada kesukaan sejumlah ulama di masanya yang berdebat untuk menang-menangan saja. Terutama ketika penguasa bosan (taka da kerjaan) dan mengundang ulama untuk berdebat. Jika dia menang debat, maka dapat hadiah.
Berdebat sendiri secara lahiriah bermanfaat karena mengasah nalar dan membangun dialektika untuk menemukan kebenaran dan kemajuan peradaban. Namun, secara rohaniah ini bermasalah karena, ada sebagian yang melakukannya untuk mencari status sosial dan harta saja. Inilah kritik imam Al Ghazali dari sudut pandang batiniah atau tasawuf.
Ketiga adalah at-tauhidu. Pada masa sekarang dipahami sebagai ilmu teologi yaitu pengetahuan tentang Tuhan (disebut juga ilmu kalam). Distorsi yang terjadi adalah penggunaan pengetahuan mengenai sifat-sifat Allah SWT sebagai bahan debat menang-kemenangan. Makna awal tauhid adalah meyakini Allah SWT adalah tunggal, satu-satunya yang Maha Sejati, yang pantas di sembah.
Keempat adalah At-tadzkiru. Maknanya di masa sekarang bergeser menjadi dzikir secara lisan, karena kumpul-berkumpul tapi tidak meresap secara batiniah. Pada masa generasi awal Islam, ada profesi pencerita yang ceritanya adalah kisah untuk menciptakan rasa takut kepada Allah SWT. Namun profesi ini dicela sejumlah ulama pada masa itu karena, mereka juga sumber hadits palsu, dan sumber kebohongan karena tanya-jawab demi mendapat perhatian.
Kelima adalah Hikmah. Makna aslinya adalah “barangsiapa diberikan kebijaksanaan maka dirinya mendapat banyak kebaikan dari Allah SWT”. Belakangan hikmah menjadi ilmu filsafat atau ilmu perbintangan. Pada masa sekarang ahli hikmah dianggap juga ahli perdukunan.
Dari sini kita tahu bahwa, hakikatnya semua pengetahuan itu baik namun karena hanya digunakan untuk mencapai status-status keduniawian, akhirnya mengalami reduksi sehingga merosot dari tujuan untuk mencapai Allah SWT, mendapat ridha Allah SWT. Karena reduksi ini, ilmu-ilmu tersebut selesai sebagai intrumentalis semata, sebagai alat mencapai hasrat duniawi saja.