Majalahaula.id – Salah satu tokoh sentral yang hingga kini idenya selalu relevan dengan zaman adalah KH Abdurrahman Wahid. Apalagi di negara yang menjamin keragaman dan pada saat yang sama dibukanya demokratisasi, maka pemikiran Gus Dur demikian ditunggu umat.
Karena itu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meluncurkan program Halaqah Fiqih Peradaban sebagai bagian dari rangkaian Hari Lahir (Harlah) 1 Abad NU. Program akan dilaksanakan di 250 titik se-Indonesia selama lima bulan. Puncaknya akan digelar Muktamar Fiqih Peradaban pada Januari 2023 mendatang.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menyebut bahwa program Halaqah Fiqih Peradaban merupakan salah satu cara Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menghidupkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Inilah yang menjadi visi Gus Yahya dalam memimpin NU hingga 2027 mendatang.
Secara substansi pemikiran, Gus Dur ingin agar ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), ajaran pesantren, dan kitab kuning yang dipelajari bisa memberikan jawaban dan respons terhadap keadaan-keadaan yang sedang dihadapi masyarakat.
Untuk itu, Gus Dur kemudian menggagas sebuah pertemuan yang dinamai Halaqah Rekontekstualisasi Kitab Kuning. Pertemuan ini diluncurkan pada Muktamar Ke-28 di Krapyak, Yogyakarta.
Beberapa pertemuan yang diselenggarakan ini digawangi KH Masdar Farid Mas’udi, seorang pemikir muda NU yang cemerlang pada zamannya. Kiai Masdar diserahi Gus Dur untuk mengawal dan menyelenggarakan halaqah kitab kuning itu.
“Sekarang Gus Yahya menjadi ketua umum dengan cita-cita menghidupkan kembali Gus Dur, dan juga mau mengadakan halaqah lagi, namanya Halaqah Fiqih Peradaban. Tujuannya sama, agar fiqih kita kontekstual bisa menjawab masalah-masalah peradaban baru yang kita hadapi sekarang ini. Saya diminta Gus Yahya menjadi ketua panitia halaqah ini,” ungkap Gus Ulil dalam galawicara di TVNU, Jumat (19/08/2022).
Kedua halaqah, baik yang dilakukan pada zaman Gus Dur maupun di era Gus Yahya saat ini memiliki semangat yang sama, yakni melakukan rekontekstualisasi fiqih. Bedanya, Gus Dur melakukan itu dalam konteks Indonesia, sedangkan Gus Yahya pada tingkat dunia. (Ful)