Search

Hiruk-Pikuk dan Kedinamisan Gus Dur

Majalahaula.id – Gus Dur, adalah nama yang menyimpan kekayaan pengetahuan humaniora dan spritualitas yang seakan tak pernah habis dikaji. Meski telah pulang, beliau masih terus disebut dan kata-katanya terus dikutip dan diurai serta dirindukan oleh banyak orang. (KH. Husein Muhammad)

Oleh: Salman Akif Faylasuf )*

Mungkin semua orang mengira bahwa, kebesaran KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hanya karena beliau anak seorang tokoh besar dan cucu kiai besar. Bahkan hal ini mungkin terjadi di sekitar kita. Seorang yang mengaku sebagai putra, saudara, atau kerabat tokoh besar dengan seenaknya memanfaatkan kekerabatan dan nasabnya untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun tidak dengan Gus Dur.

Gus Dur mencari kebesaran itu dari dalam dirinya sendiri. Ia tak berteduh-naung dan bergantung-palung di bawah kebesaran semua itu. Itu artinya, kebesaran Gus Dur, bukan karena beliau putra dan cucu ulama besar, guru para ulama, juga bukan karena pernah menjadi pemimpin PBNU, apalagi pernah memimpin bangsa sebagai Presiden, melainkan karena dirinya sendiri, usaha keras dan jerih payahnya sendiri.

Jika ada yang mengatakan Gus Dur besar karena hanya seorang cucu Pahlawan Nasional, keturunan darah biru, sudah barang tentu dan saya pastikan dia tidak pernah membaca rihlah perjalanan dan sejarah kehidupan sosok Gus Dur.

Syahdan, sosok Gus Dur memang merupakan figure yang fenomenal dalam realitas sosial masyarakat Indonesia. Gus Dur termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia yang pemikiran dan sepak terjangnya sering dipandang kontroversial. Karena, pemikiran Gus Dur memang sangat sering memancing reaksi pro kontra dan mengundang perdebatan. Baik pemikiran maupun perilakunya, tak jarang yang melawan arus atau menyimpang dari wacana publik yang lazim, terutama bagi umat Islam. Karena itu, tidak heran jika persepsi orangpun terhadapnya juga berbeda-beda.

Baca Juga:  Ahl-Kitab dalam Islam (3): Status di Hari Kemudian

Tampilnya Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4 saat itu, membuat posisi pesantren menjadi naik daun, dan kembali diperbincangkan dalam relasinya dengan kekuasaan dan negara. Hal ini mudah dipahami, karena Gus Dur adalah produk asli pesantren sebagaimana diketahui oleh khalayak umum. Bahkan, sebagian besar waktu Gus Dur dihabiskan di beberapa pesantren-pesantren NU terkemuka; berpindah dari satu pesantren kepesantren  yang lain (sowan pada kiai-kiai).

Karena itu, nilai-nilai tradisi pesantren amat kental mewarnai perilakunya bahkan ketika sudah menjadi Presiden pun. Hal ini dapat dilihat, paling tidak, dari penekanan dan kebijaksanaan pembangunannya yang berorientasi pada kerakyatan yang sarat dengan muatan nilai-nilai kepesantrenan.

Maka tidak heran misalnya, jika salah satu persyaratan menjadi Kabinet Persatuan Nasional misalnya, adalah kejujuran dan kesederhanaan. Dua nilai tersebut tak pelak merupakan hasil adopsi dari nilai-nilai dan kultur yang berkembang di dunia pesantren.

Sekali lagi, pandangan dunia yang membentuk pemikiran Gus Dur tak lain adalah pandangan dunia pesantren. Dengan seluruh pengembaraan intelektual yang dialami, sejak dari pesantren-pesantren, Timur Tengah Al-Azhar hingga kuliah di Baghdad, ia tetap tak bisa meninggalkan rumahnya, tempat ia tumbuh sejak kecil, yaitu pesantren.

Sudah barang tentu, pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara itu, pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikiran Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya.

Baca Juga:  95 Tahun Usia NU Dalam Hitungan Masehi, Ini Ucapan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur

Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kiai yang mendidik dan membimbingnya, mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Misalnya, Kiai Fatah dari Tambak Beras, Kiai Ali Ma’shum dari Krapyak, dan Kiai Chudhori dari Tegalrejo, telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Tak hanya itu, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal. Kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras. Ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Semuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi.

Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya, melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan pemikiran Gus Dur?

Kita tahu bahwa, Gus Dur adalah seorang intelektual yang mewakili perpaduan dua tradisi sekaligus: Kesarjanaan Islam tradisional dan pendidikan Barat modern. Dengan ini, kita bisa membaca bahwa, corak utama pemikiran Gus Dur lebih menekankan pada pendekatan kontekstual dari pada tekstual, serta mencoba memadukan pemikiran khazanah pemikiran Islam trasdisional dan kenyataan yang ada dalam masyarakat modern saat itu khususnya (dan sekarang umumnya).

Dalam hal ini, Gus Dur, tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisional saja, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi teori hukum (ushul fiqih) dan akidah hukum dalam kerangka pembentukan suatu sintesis, untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual dimasyarakat.

Baca Juga:  Gus Ulil: Al-Ghazali dan Historis Ihya’

Syahdan, sekurang-kurangnya, terdapat lima elemen kunci dari pemikiran Gus Dur. Pertama, pemikirannya progresif dan bervisi jauh ke depan. Baginya, dari pada terlena oleh kemenangan masa lalu, Gus Dur melihat masa depan dengan harapan yang pasti. Bahwa bagi Islam dan masyarakat Muslim, sesuatu yang terbaik pasti akan datang.

Kedua, pemikiran Gus Dur sebagian besar merupakan respons terhadap modernitas: respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Ketiga, dia menegaskan bahwa posisi sekularisme yang teistik yang ditegaskan dalam Pancasila, merupakan dasar paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan, posisi non-sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa.

Keempat, Gus Dur mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan, bahkan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Gus Dur mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan Barat modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas. Dalam hal ini, baik dengan kejujuran intelektual yang kuat, maupun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam.

Akhirnya kita tahu bahwa, fokus pemikiran Gus Dur adalah bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai, sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam, dengan menghormati secara penuh antara sesama, memberi ruang gerak, serta mengembangkan sikap pluralisme. Semuanya adalah ajaran Islam yang terkandung pada prinsip universal Islam yaitu “maqashid al-sya’riah”. Pendek kata “humanisme”, atau dalam istilah Karl Marx “Emansipatoris” memanusiakan manusia. Wallahu a’lam bisshawaab.

 )* Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus Kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA