Memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap tidak menghambat H Huda untuk hijrah. Dari Surabaya ke Banyuwangi. Dirinya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan real estate yang sudah 3 tahun digeluti. Dengan berbekal niat pindah ke kampung tempat tinggal istri di Banyuwangi.
Meskipun bayaranya sudah tinggi, pulang pergi Banyuwangi Surabaya memengaruhi kondisi tubuhnya. Sehingga mudah capek dan menghambat aktivitas. Untuk itulah dirinya dipaksa membuat pilihan resign. Dengan bekal Rp. 900.000,- uang pesangon dari perusahaan, dirinya pulang ke Banyuwangi untuk memulai usaha.
“Usaha saya mulai tahun 1995 ketika pindah ke Licin Banyuwangi, saya dulu kerja di Surabaya kemudian saya menikah keluarganya disini, pertama usaha kecil-kecilan dari pasar menyewa toko, kemudian. Dari kecil lama-lama bisa buka toko sendiri, saya dulu memulai dengan usaha toko pertanian, kemudian sampai merambah menjadi bahan bangunan, justru yang dulu awalnya pertanian itu sekarang yang bisa besar toko bangunanya,”kata ketua MWCNU Licin ini.
Awalnya sekitar tahun 1994 uang sejumlah RP. 900,000,- pada tahun itu sudah bisa untuk memulai usaha. Dirinya membeli bahan-bahan pertanian seperti bibit, pupuk dan lain sebagainya. Setelah berjalan 2 tahun hasil dari usaha tidak berkembang, sehingga dirinya merambah ke usaha bahan bangunan.
“Alasan saya lebih memilih usaha, sedangkan saya sudah mendapatkan pekerjaan yang nyaman pada waktu itu adalah karena waktu saya kerja di Surabaya saya harus pulang pergi dari Banyuwangi ke Surabaya. Saya pikir capek juga kalau selalu seperti itu. akhirnya saya memilih untuk berjualan saja,”aku H Huda.
Dirinya memilih usaha bidang pertanian, karena warga di kecamatan licin ini rata-rata penghasilanya dari sektor pertanian. Saat itu usaha pertanian tergolong menggiurkan karena awal tahun 1992-1993 itu bahan bangunan belum begitu dibutuhkan. Yang banyak dibutuhkan itu dari bidang pertanian karena masyarakat kecamatan Licin menggunakan sistem pertanian yang masih tradisional. Selain itu rata-rata masyarakat ekonominya berasal dari pertanian.
Produk awal dari pertanian yang dijual diantaranyau desis, sporadan, elsan, dan bibit padi. Kemudian ditambahi menjual produk lain dari bahan bangunan. Untuk pertanian tetap ada, tetapi penjualanya stagnan. Disaat bulan 10 penjualan ada peningkatan, sedangkana awal bulan Januari februari mulai sepi lagi.
“Lama kelamaan dengan perkembangan zaman pembangunan semakin pesat, kemudian saya mencoba untuk sedikit demi sedikit menambah pasokan produk dalam bidang bangunan akhirnya sampai sekarang ini bisa berjalan. Saya dibantu 4 pekerja untuk melakukan jual beli di toko,”paparnya.
Krisis di tahun1998 sampai tahun 2000 bagi toko bangunan menjadi berkahnya bagi H Huda. Bagi pelaku di ekonomi kerakyatan justru banyak terjadi kenaikan. Karena ketika zaman Gus Dur yang penting tidak usah ekspor masyarakat konsumsinya itu banyak hingga miliaran rupiah. Jadi yang penting barang dari Kalimantan dibawa kesini yang sini dibawa kesana. justru diramalnya itu waktu hari raya ini sepi. Tapi justru usaha saya itu malah omsetnya naik. Karena ekonomi kerakyatan yang maju.
“Kayaknya bagi warga sini kenaikan dolar itu tidak ada pengaruh. Paling yang banyak rugi itu golongan kelas menengah keatas. Kalau orang desa itu intinya pertanian bagus harga jual bagus ya dia dapat keuntungan,”tuturnya.
H Huda memilih menutup usaha pertanian dan pindah ke bangunan. Karena usaha pertanian dinilai stagnan dan pelangganya tetap. Sedangkan untuk variasi usaha di daerahnya belum banyak. Misalnya selain menanam padi, kemudian menanam cabai di daerahnya perkembanganya tidak begitu pesat, dibandingkan dengan daerah lain.
“Jadi disini itu Cuma monoton padi, ada cabai ini barusan saja sekitar tahun 2000 keatas atau tahun 2010-2015 itu baru ramai. Jadi pada waktu itu ya petani stagnan, pasarnya itu tetap yang jual pertanian tetap, konsumsinya tetap. Misalnya pupuk keluar dari sini sekilan ton pertambahanya tetap dengan nilai yang sama,”ujarnya.
Tantangan dalam Usaha
Di daerah wisata lereng Gunung Ijen, pengurus NU maupun pengurus ranting merupakan seseorang yang memiliki peran. Biasanya minimal tokoh di daerahnya sehingga punya usaha toko dan sebagainya. Jadi rata-rata meracang, ada yang guru dan lain sebagainya. Sampai bisa mengadakan program Belonjo Nang Tonggo Dewe ya itu. Karena rata-rata dari pengurus adalah penjualan.
“Jadi kita bisa melakukan inovasi dalam pengembangan ekonomi di daerah, kita coba mengembangkan sektor wirausaha, untuk mendukung potensi pariwisata yang ada di daerah,”kata H Huda.
H Huda memaparkan, dirinya sangat menyukai kegiatan sosial. Tetapi, kesibukan di usaha membuatnya kesulitan dalam membagi waktu. Karena di bangunan sulit menggunakan sistem digital.
“Terlalu banyak item dan bagian sehingga susah dibuat sistem seperti itu, kecuali kalau misalnya menjual pakaian itu jelas produknya hanya kaos. Mungkin hanya ada beberapa item, tetapi kalau bangunan ada eceran, dus-dusan, dan seperapatan itu kan bagian yang merepotkan ada disitu,”tuturnya.
Jadi semua penjualan sistemnya masih manual, kalau di dalam usaha bangunan jika barang keluar pasti untung, yang menjadi permasalahan kalau toko bangunan itu barang rusak. Dirinya tidak bisa memprediksi sehingga dapat memengaruhi.
Contohnya, lanjut H Huda, jika membeli satu dusin kunci, dukanya kalau ada satu kunci sudah mengurangi pemasukan, padahal perhitungan dilakukan per dusin. Isi dua belas biji dijual secara habis tetapi kadang-kadang satu dusin bisa ada kerusakan dua itu mengurangi angka. Kedua kelupaan, ini yang menyebabkan kerugian. Kadang kalau pekerja sedang lelah, kirim besi 7 biji, tiba-tiba jumlahnya cuma ada 6. Permasalahan seperti ini yang sering terjadi. Bukan biasa ditoleransi, tetapi kadang-kadang sudah begitu terkontrol tetapi masih bisa terjadi kesalahan.
“Kalau dari pelanggan pasti pernah ada komplain. Selama ini kebanyakan yang komplain itu dari kiriman, begitulah namanya usaha apapun sudah teliti kadang ada kesalahan. Jika tidak terjadi perkembangan, kita harus berani mengambil langkah inovasi atau mengganti sesuai kebutuhan masyarakat,”pungkasnya.