Search

Wisata Ke Makam Pangeran Papak Garut, Histori Trias Politika Sunda dan Keislaman

AULA Traveler, kali ini mari kita belajar sejarah Islam di tanah sunda. Salah satunya adalah situs makam Pangeran Papak Cinunuk Wanaraja Garut, termasuk pada kategori kabuyutan Sunda. Kali ini, penulis menduga, bahwa di dalam situs tersebut masih terdapat jejak-jejak pemikiran primordial Sunda. Pemikiran primordial Sunda yang dimaksud adalah trias politika Sunda, yaitu semacam pembagian kekuasaan dalam pandangan masyarakat Sunda lama.

Kampung Cikertawana merupakan kampung tengah sebagai pelaksana mandat kekuasaan dari Kampung Cikeusik. Sedangkan Kampung Cibeo merupakan kampung terluar sebagai kampung yang bertugas menjaga keamanan dua kampung terdahulunya (Cikeusik dan Cikertawana).

Dengan demikian tiga kekuasaan kampung meliputi Cikeusik-Cikertawana-Cibeo dengan fungsinya masing-masing sebagai pemilik kekuasaan (Cikeusik), pelaksana kekuasaan (Cikertawana), dan penjaga kekuasaan (Cibeo). Pada zaman kerajaan Hindu-Budha-Sunda, pola tripartit (trias politika) kekuasaan Sunda menunjukan sikap “tetap” sekaligus “berubah”.

Baca Juga:  Wisata ke Air Terjun Pengantin Ngawi, Dipercaya Bikin Hubungan Langgeng

Tiga pola kekuasaan sebelumnya yang berdasarkan pada pembagian tiga kampung (Cikeusik-Cikertawana-Cibeo) lalu menjadi Resi-Ratu-Rama. Resi merupakan orang atau sekelompok orang pembuat tatakrama, norma, etika, budi pekerti, atau sebagai peñata agama. Ratu merupakan seorang raja, sebagai pelaksana kekuasaan kerajaan yang tindakannya tidak lepas dari norma yang dibuat Resi.

Setelah Islam dipeluk oleh kebanyakan masyarakat Sunda, pola tripartitnya pun dapat menjadi Buhun-Nagara-Sarak. Buhun merupakan pemegang adat istiadat Sunda. Sementara Nagara merupakan pelaksana pemerintahan. Dan Sarak atau syariat merupakan representasi dari Islam. Maka pola tripartitnya adalah Buhun-Nagara-Sarak sama dengan Adat-Pemerintahan-Islam.

Jika dicermati secara detail, di situs makam Cinunuk terdapat pola yang menunjukan adanya trias politika Sunda sebagaimana dijelaskan di atas. Trias politika Sunda tersebut didapat dari keberadaan makam-makam yang ada semisal makam para pahlawan kemerdekaan, makam ulama, dan makam rakyat biasa. Pola trias politika Sunda ada dalam situs makam Cinunuk dengan simbol Resi-Ratu-Rama yang berubah menjadi Ulama-Menak-Rakyat.

Baca Juga:  Museum Al Quran Terbesar di Dunia Ada di Palembang

Ulama sebagai simbol pesantren, menak sebagai simbol pemerintah, dan rakyat sebagai simbol masyarakat. Makam Rd. Wangsa Muhammad (Pangeran Papak) sebagai simbol Ulama (pesantren), makam pahlawan Letjend Ibrahim Adjie sebagai simbol Menak (pemerintahan), dan makam umum sebagai simbol Rakyat (masyarakat). Simbol Islam dalam situs makam Cinunuk pun dicirikan pula dengan adanya masjid di tempat penziarahan.

Alhasil, kekuasaan kolektif Sunda dari dulu hingga sekarang masih tetap ada, meskipun berubah-ubah namun dengan pola yang tetap sesuai dengan perjalanan panjang sejarahnya. Kekuasaan kolektif Sunda dari Cikeusik-Cikertawana-Cibeo menjadi Resi-Ratu-Rama, Ulama-Menak-Rakyat, Pesantren-Bupati-Rakyat, Islam-Pemerintahan-Rakyat, Adat-Nagara-Agama, serta Rakyat Sunda-Gubernur-Panglima.

Maka dari itu timbulah ungkapan “Islam itu Sunda” atau “Sunda itu Islam”. Ungkapan ini jangan dibaca dengan pemikiran masa sekarang, tetapi harus dibaca sesuai dengan tradisi pemikiran orang Sunda bahwa Islam itu adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh kerajaan. Seyogianya, ungkapan Islam itu Sunda juga harus dibaca secara sosio-historis-kultural Sunda sebagai perjalanan sejarahnya, dan jangan dibaca secara teologis. Jika tidak dibaca secara demikian, maka akan membingungkan seolah-olah Islam itu direduksi oleh budaya.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA