Search

Flashback Perjalanan Hidup Mbah Nashir, Sang Mutiara yang Dirindukan Umat

AULA – Mbah Nashir, begitulah panggilan takdzim masyarakat kepada beliau. Sosok kiai yang humanisme, juwana, akrab dengan banyak kalangan. Tempat yang teduh untuk berkeluh kesah. Kematangan akan ilmunya tidak ada satupun yang dapat meragukan, sebab sedari balita sudah mendapat sentuhan ilmu agama dari sang abah dan tokoh ulama’, hingga menginjak dewasa menjadi santri pertama hingga kealimannya diakui oleh sang muhaddits imamul haromain sayyid muhammad al alawi al maliki.

Ibarat mata air yang teduh nan jernih yang dikerumuni oleh berbagai makhluk hidup maka itulah sosok beliau. Sosok kiai yang alim bersahaja dan senantiasa khumul (enggan dengan popularitas), namun kealiman beliau bisa dirasakan dan dinikmati oleh siapapun itu yang datang kepada beliau, entah karena kehausan akan ilmu agama atau bahkan karena haus dengan berbagai hal apapun itu. Mbah Nashir benar benar membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun eksklusif dibanding lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi antara keilmuan dengan dinamika kehidupan dan tidak jauh dengan semua itu. Sebagaimana syekh ibnu atha’illah as sakandari katakan dalam hipotesisnya Al hikam, bahwa seseorang tidak akan bisa dikatakan sempurna natijahnya apabila tidak mengubur diri pada tanah yang Khumul.

Sosok yang arif nan jumawa itu, kini menjadi memori yang berlabuh di dalam hati masyarakat, setiap tutur kata yang lembut nan fasih dari beliau menandakan luasnya akan khazanah keilmuan dan pemikiran yang dapat dibaca oleh semua orang. bagaikan sang perpustakaan yang sedang berjalan memuat berbagai fan keilmuan kitab kitab karangan ulama’ salaf, seperti tasawuf imam ghazali, al mahalli, al muhadzab, shahih bukhari dan lain sebagainya.
Sosok yang teduh bertutur kata fasih welas (penyayang) kepada umat itu, kini keberadaanya sangat dirindukan oleh umat.

Semasa Hidup

Mun’im (panggilan beliau dikala kecil), adalah anak desa yang aktif juga progresif lahir di tengah keras dan kejamnya para kolonial belanda ke 2, beda dengan anak desa pada umumnya. Kesehariannya lebih aktif membantu kedua orang tuanya di sawah serta mengaji dengan para kyai di desanya, semua itu karena hasil buah sentuhan orang tuanya yang cinta dengan ilmu agama.

Meski terlahir dari rahim seorang petani desa mun’im adalah anak yang beruntung karena orang tuanya bukanlah sosok petani desa biasa, orang tuanya selalu menjaga hubungan dekat dengan para ulama’. Hingga pada musim panen tiba, orang tuanya selalu menyisihkan hasil panennya untuk dibawa sowan kepada ulama’ seperti mbah Ma’shum lasem, mbah baidlowi mbah fathur lasem, mbah Ahmad bin Syuaib, Mbah Zubair, dan berbagai tokoh ulama’ semasanya, agar senantiasa memperoleh keberkahan rezeki dunia dan akhirat.

Disaat kakaknya khoirul huda hendak berangkat ke pesantren, kecintaan terhadap ilmu dan ulama mulai dapat terlihat dari diri Mun’im, bocah yang baru berumur 10 tahun. Hingga ia memberanikan diri untuk meminta mondok bersama kakaknya di sarang. Namun karena faktor umur yang masih sangat muda akhirnya orang tuanya belum memberikan izin kepadanya, namun apa boleh buat sosok bocah kecil yang cerdas itu akhirnya memasukan pakaiannya kedalam karung beras bekal milik kakaknya, tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga pada akhirnya sang ayah pun tersentuh hatinya, karena jiwa jiwa hebat terlahir dari putranya yang baru berusia sepuluh tahun.

Sarang, dari dulu hingga hari ini terkenal dengan berbagai ulama’ yang alim alamah menjadi rujukan banyak orang yang datang dari penjuru nusantara untuk menyelami samudra khazanah keilmuan mulai dari zaman mbah zubair hingga estafet keilmuan diwarisi oleh para dzurriyahnya.

Selama Kurang lebih 10 tahun mun’im menimba ilmu di Sarang bersama kakaknya, berbagai pengalaman pun akhirnya ia dapatkan, banyak kisah menarik ketika mun’im belajar di sarang, dikala forum bahtsul masail tiba tidak ada satupun yang berani dan bisa mementahkan argumen dari mun’im hingga masalah yang musykil sekalipun. sehingga banyak yang memberi julukan bahwa Mun’im lah sosok singa sarang pada zaman itu. Satu hal yang menjadikan mun’im terus bertambah akan khazanah keilmuan yakni tidak pernah merasa kecil hati dan malu akan bertanya, setiap kemanapun pergi pasti di dalam sakunya tidak akan pernah kosong dari sobekan kertas yang berisi tulisan buah hasil dari mutholaah yang sekiranya ia belum bisa memahaminya, di waktu ia bertemu siapapun yang ia anggap senior ia pasti akan menanyakannya, siapapun itu, meski umurnya jauh lebih muda darinya.

Baca Juga:  Alissa Qotrunnada Wahid Tantangan bagi Moderasi Beragama

Disaat umur 17 tahun, mun’im sudah menjadi bagian pengajar/ustadz, tepatnya di pesantren MIS (ma’had ‘ilmi asy syar’iyah), hingga menjadi panitia pembangunan berdirinya pesantren Al anwar di bawah asuhan Almaghfurlah KH. Maimun Zubair. Mun’im juga pernah mengikuti berbagai pengajian kilatan di bulan ramadhan, seperti halnya mengaji kitab Mizanul Kubro, as Sya’rawi, muhadzab kepada kyai Muslih mranggen (Demak), kitab Shahih muslim kepada kiai Ahmad Asy’ari Poncol.

Sebagaimana sang rasul SAW, ajarkan kepada umatnya akan pentingnya mencari ilmu dan betapa sangat mulianya seseorang yang sedang mengembara ilmu. Maka itulah salah satu karakter yang tertanam didalam hati keluarga mun’im. Hingga kepulangan mun’im dari sarang menjadikan buah pemikiran bagi sang ibu, bahwa mun’im harus melanjutkan perjalanannya menyelami khazanah keilmuan ke tanah Makkah. Karena sungguh seorang petani desa yang memiliki jiwa besar jauh lebih mulia, daripada orang yang bergelimang harta namun bakhil dalam mentasarufkannya.

Waktu terus berjalan hingga tiba pada saatnya, seorang petani desa menjual sebagian tanah miliknya demi memberangkatkan sang anak ke jalan yang mulia, jalan yang diridhoi oleh Allah dan sang rasul nya. Sebelum memulai langkah menuju tanah haram, mun’im sudah dihadapkan dengan keadaan sang ibu yang terbaring sakit parah, menjadikan ia dilema oleh keadaan antara berangkat ke makkah atau menemani sang ibu yang sedang sakit. Tapi karena keberangkatan mun’im adalah niat mulia dari sang ibu, akhirnya sang ibu membisik di telinga mun’im dan memberi semangat serta dorongan ‘’BAHWA KAMU HARUS TETAP BERANGKAT KE MAKKAH’’, Sungguh siapapun itu yang berada dalam posisi yang sama pasti akan merasakan hal yang sama, yakni berat hati untuk meninggalkan ibunya. Apa boleh buat ketika sebuah amanah telah lahir dari seorang yang mulia maka tidak ada kata lain selain menerima apa adanya.

Langkahnya tertatih tatih jiwanya tersayat sayat bagaikan pisau tajam menusuk gumpalan daging. Amanah itu terus terbayang di dalam dekapan sudut sudut qolbu yang paling dalam. Hingga sesampainya mun’im di bandara tepat sebelum pesawat lepas landas terkabarkan,’ Innalillahi wa inna ilaihi rojiun’’ ibundanya sudah tiada pergi meninggal dunia. Seketika hatinya menjerit sejadi jadinya, kedua matanya spontan menangis mengalirkan air mata, karena sungguh sangatlah berat untuk membendungnya, jiwanya terperosok kedalam jurang bagaikan terlempar dari atas ketinggian awan. Tiada harapan bagi mun’im kecuali menjalankan amanah dari sang ibu, agar tetap ‘’Li’ i’lai kalimatillah hiyal ulya’’.

Di tanah Makah al mukaromah terdapat banyak sekali ulama yang alim alamah, baik ulama’ ahli hadits, tasawuf, fiqih dan ulama’ ahli fan fan keilmuan lainnya. Salah satunya adalah Syekh yasin bin isa al fadani, ulama asli kelahiran Indonesia yang menjadi tokoh ulama besar, rujukan para pencari ilmu dari penjuru dunia. Dengan beliaulah pertama kali mun’im istifadah, namun sangat disayangkan disana mun’im bukan lagi belajar sesuai tujuannya datang dari indonesia, melainkan di beri tugas untuk mengajar bersama para santri santri beliau syekh yasin bin isa al fadani.

Berangkat dari sinilah mun’im ingin mencari guru lagi hingga ia dipertemukan dengan sosok yang tinggi berparas tampan dan gagah al muhaddits Imam al Haromain Sayyid Muhammad al Maliki al Hasani, sekaligus menjadi santri yang pertama kali datang kepada beliau.
Guratan sedih masih terlihat dalam diri mun’im, hingga dapat dibaca oleh sang guru sayyid muhammad al Alawi al Maliki, meski dirinya sudah berusaha menutup nutupinya. ‘’Saya melihat, meski jasadmu disini namun hatimu masih di sana (jawa)’’, tutur sang guru. Hingga pada akhirnya ia berterus terang bahwa ibunya tiada dikala sedang perjalanan ke tanah makkah. Kemudian sang sayyid memotivasinya agar tidak berkecil hati.

Mengenal sosok Sayyid Muhammad al Alawi al Maliki beliau adalah ulama’ dzurriyah sang rosul dari keluarga al maliki al hasani yang terkenal. Ayahnya adalah sayyid Alawi, seorang ulama terkemuka di makkah, sedikit cerita dari perjalanan hidup Sayyid Muhammad bahwa beliau adalah pembela ajaran Ahlussunnah dan menolak keras ajaran ajaran sesat wahabi hingga pada suatu kesempatan beliau pernah mendapat teguran surat merah hingga ancaman hukum penggal pun terjadi, namun semua itu tidak sedikitpun menjadikan beliau mundur dari ajaran ahlussunnah, bagaikan singa yang terbangunkan dari tidurnya, hingga siapapun yang berani datang memusuhi maka dapat dipastikan akan takluk dan tunduk dengan beliau.

Baca Juga:  Ahmad Ramadhan Pulihkan Akun YouTube DPR RI

Beliau juga terkenal akan sifat kedermawanan dan sangat peduli dengan santri santrinya ,hingga bentuk kepedulian sosok murabbi itu bisa dirasakan oleh mun’im dengan mengganti namanya menjadi M.Nashiruddin. sering kali pujian dari sang guru kepada mun’im seperti halnya saat memanggil nashir dengan sebutan ‘’ya kiyai’’, padahal dari hati kecil nashir tidak terlintas sedikitpun harapan kelak untuk menjadi seorang kyai. Mengarungi perjalan keilmuan di tanah mekkah tidaklah mudah bagi semua orang. Hingga 5 tahun lebih sosok mbah nashir mengarunginya, pada suatu ketika saat selesai khataman pengajian kitab Al mukhtar min kalamil ahyar, tiba tiba sayyid muhammad melempar kitabnya ke pangkuan mbah nashir dan berkata ‘’ambilah, dan amalkan di indonesia’’. Banyak hal yang mbah nashir rasakan dari hasil tarbiyyah sosok murabbi yang hebat, hingga sampailah muncul benak dari diri mbah nasir untuk mengakhiri episode perjalanan mengembara ilmu di tanah makkah, sehingga mbah nashir memberanikan diri untuk meminta izin ke indonesia.

Bentuk istikhoroh dari sang murabbi pun dilakukan, hingga singkat cerita mbah nashir di ajak sowan ke makam rosululloh berkali kali guna untuk meminta izin kepulangannya ke tanah indonesia, hasil dari istikhoroh tersebut selalu didapat hasil yang sama, bahwa sang baginda agung nabiyuna Muhammad SAW. Belum memberikan izin. Hingga sampailah suatu kabar dari sang guru, bahwa rasulullah SAW, sudah memberikan izin kepulangannya ke Indonesia. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa legalitas kepulangan mbah nashir adalah murni dari bentuk restu sang baginda agung Muhammad SAW.

Sebelum keberangkatan pulang, sosok murabbi itu bertanya kepada muridnya,’’ Apa hal yang menjadikanmu memberanikan diri kembali ke Indonesia?’’,, beliau menjawab ‘’tidaklah ilmu yang selama ini ku kejar, menjadi amaliyyah yang besar bagiku, melainkan kecintaan yang besar kepada sang revolusioner akbar Nabiyuna Muhammad SAW, dan sehari aku tidak sepi dari bacaan sholawat kepada nabi. Allohumma sholi ala sayyidina muhammad, sungguh jawaban mulia hanya terlahir dari insan insan yang mulia. Dan tanpa sepengetahuan beliau, Sayyid muhammad memberikan bekal berupa 1 koper uang yang bernilai ratusan juta rupiah, sebagai modal pembangunan pesantren umat, namun karena semua hal itu tidak pernah berlabuh di hati mun’im, akhirnya dengan akhlak serta ketawadhuan yang ia peroleh dari pengembaraan menimba ilmu, ia menolaknya dengan lemah lembut.

Sifatnya yang selalu membumi, menjadikannya jalan terbaik dalam hidup. Hingga sepulangnya dari makkah aktivitas menjadi petani desa tetap dijalankan bersama sang istri Hj. Siti khoiriyyah tanpa adanya sedikitpun rasa gengsi . setelah 2 bulan pulang dari makkah mertuanya H. Ashari berpulang ke rahmatullah, kesedihannya terus bertambah. Disamping itu pula beliau harus menghidupi adik adik iparnya yang masih kecil yatim piatu) berjumlah 7 orang. Namun semua itu tidak harus menjadikannya berkecil hati karena bekal ilmu agama yang ia dapati sudah cukup menjadi penawar bagi rasa susah itu, hingga tumbuh dewasa adik adik ipar itu semuanya berkeluarga dan menjadi orang yang sukses, sukses dalam hal agama maupun sukses dalam materi.

Langkah demi langkah mbah nashir telusuri dan tak lupa menggantungkan setiap urusannya kepada sang maha pencipta alam semesta itulah jalan yang dipijaki oleh mbah Nashir. Karena dimana sang permata yang bernilai mahal berada, pasti disitu akan menjadi tujuan bagi masyarakat. Pondok Pesantren & Majlis ta’lim Daruttauhid Al-Hasaniyyah, yang dirintis dari embrio kecil pengaosan masyarakat sekitar tahun 1987 M, hingga kini berubah menjadi lembaga pendidikan yang besar, dan menampung ratusan santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara.

Baca Juga:  Megawati Soekarnoputri Prihatin Manipulasi Hukum

Dalam perjalanan membangun Pesantren Daruttauhid Al-Hasaniyyah, Mbah Nashir (Panggilan akrab KH. Nashiruddin Qodir) sebelumnya memberikan nama pesantren ini dengan nama “Daruttauhid Al-Alawi”. Nama Pondok ini beliau ambil ketika sepulang Beliau dari belajar di Tanah Suci Mekkah, tepatnya di Ma’had Daruttauhid asuhan Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Mekkah.

Pada tahun 1987 M, Para warga sekitar desa sendang meminta kepada Syaikhina KH. Nashiruddin Qodir untuk mengajar ngaji, lalu beliau menyanggupi dan pada hari Ahad pahing, tanggal 06 Rojab 1498 H / 24 April 1988 M dibangunlah sebuah bangunan diatas tanah yang berukuran 17 x 19 m yang digunakan untuk pengajian kitab. Tetapi kegiatan pengajian tersebut belum lama berjalan, datanglah beberapa Santri dari luar daerah untuk digulowentah belajar kepada Beliau sekaligus meminta bermukim.

Sebelumnya Syaikhina tidak berkenan menampung para santri, karena telah ada pondok di sekitarnya yang diasuh oleh Romo Kyai H. Ahmad Shidiq, akan tetapi lama kelamaan santri yang datang dari luar daerah semakin banyak, maka dengan keikhlasan hati, mengharap ridho kepada Alloh SWT beliau menerima Para santri untuk mondok belajar agama kepada Beliau. Maka dengan persetujuan dan dorongan dari masyarakat sekitar, pada tahun 1988 M berdirilah sebuah pesantren dengan nama “ Pondok Pesantren Putra Putri Dan Majlis Ta’lim (PPM) Daruttauhid Al-Alawi” dengan memfungsikan bangunan lantai 2 tepatnya di atas Majlis ta’lim sebagai tempat bermukim para santri luar, sehingga dari tahun ke tahun berdirilah beberapa bangunan disekitarnya.

Pada akhir tahun 2001 atau tepatnya pada hari kamis tanggal 05 syawal 1422 H / 20 desember 2001 M, Syaikhina mendapatkan risalah dari Guru Beliau di Makkah Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi yang isinya sebuah perintah untuk merubah nama Pondok tersebut dengan nama yang telah diistikhorohi dengan nama “ Pondok Pesantren Putra Putrid an Majlis Ta’lim (PPM) Daruttauhid Al-Hasaniyyah”.

Sebagai Pesantren pengembangan, PPM daruttauhid Al-Hasaniyyah menerapkan kurikulum yang boleh dikatakan memiliki perbedaan dengan kurikulum umumnya pesantren Indonesia. Jika fiqih dan tasawuf disana menempati posisi mayoritas, maka di pesantren ini Fiqih , Tafsir, dan Hadits yang mendominasi.

Selain pendidikan Diniyyah dan Muhadhoroh, Syaikhina mempunyai pengajian wirid khusus setelah maktubah yaitu setelah Shalat Subuh dengan Kitab Ihya’ Ulumuddin, Setelah Dhuhur dengan Ilmu Ushul Fiqih, Setelah Ashar dengan Kitab Ibnu aqil, setelah Maghrib dengan ilmu al mahally dan setelah isya’ diisi dengan ngaji sorogan Tafsir jalalain dan ilmu tafsir. Dari aspek ruhani santri atau sering disebut dengan istilah Thoriqoh, pesantren ini merumuskan wajib membaca sholawat kepada Nabi Muhammad (Thoriqoh Sholawat Nabi), wirid dan tentu saja membaca Al-Qur’an.

Dari tahun ke tahun Pondok ini mulai mengembangkan sayapnya, terus bersinergi dan aktif dengan kajian aktualisasi kutub at turats (kitab kuning), dengan membawa kobaran semangat dari jargon kebanggaan ‘’The Spirit Of SALAF TERAMPIL’’ sehingga Berdirilah berbagai Lembaga pendidikan Formal dibawah naungan Pondok pesantren ini, diantaranya :

  • TKIT (Taman kanak-kanak Islam terpadu)
  • SDIT (Sekolah dasar Islam Terpadu)
  • MTs Al-Hasaniyyah
  • MA Al-Hasaniyyah
  • Perguruan Tinggi Ma’had Aly Al Hasaniyyah

setelah kepergian beliau, seluruh estafet perjuangan diwarisi oleh para putra dan menantu beliau, yakni K.Achmad Husyam, KH. Abdullah Hasyim, K. Muhammad Hilmi, K.Bahrun Amiq, KH.Abdul Muiz, H. Agus Khullah Maimun serta dibantu dengan para jajaran Asatidz dengan mengedepankan pola kepengurusan kolektif kolegial (keputusan diambil secara musyawarah bersama). Dan siapa sangka pesantren yang berada pada segi geografis tepat di tengah hirup pikuk masyarakat pedesaan dan di krumuni dengan pohon bambu itu kini menjadi sangat progresif bersinergi dengan kualitas pendidikan salaf dengan sistem kekinian serta mampu melahirkan sarjana² spesialis kutub at turots ( kitab kuning), yang siap mengisi ruang ruang kekosongan masyarakat dalam masalah agama dan moralitas.

 

Penulis : Ahsin musyaffa’ (Mahasantri Ma’had Aly Al hasaniyyah)

Sumber :

  1. KH. Munawwar (Pendiri Pp.MH 02 Senori Tuban, Teman seperjuangan Mbah Nashir di Sarang).
  2. Kyai M Hilmi Nashiruddin (Putra mbah Nashir ke-3).
  3. KH. Abdulloh Hasyim (Mudir Ma’had Aly Al Hasaniyyah Tuban, Menantu pertama Mbah Nashir).

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA