Search

Pondok Pesantren  Al-Munawwir Batang Jateng, Berkah Keikhlasan Kiai Kharismatik

Di Jawa Tengah, khususnya, nama KH Ahmad Munawir Batang sudah cukup dikenal. Seorang kiai yang kharismanya menggema jauh melampaui zamannya, termasuk peninggalannya berupa Pondok Pesantren Al-Munawwir yang dinisbatkan pada namanya.

Untuk menuju pesantren ini tidak sulit. Kabupaten Batang berada di jalur pantura 84 km sebelah barat Kota Semarang yang dilewati jalur arteri Semarang-Cirebon Kecamatan Gringsing sendiri berada di bagian timur wilayah kabupaten berbatasan dengan Kendal. Maka ketika telah melewati Kali Kuto (semacam sungai perbatasan kendal-Batang), tak jauh dari situ pertigaan Gringsing terletak di sebelah kanan jalan.

Latar sejarah pesantren Al-Munawwir tentu tak bisa lepas dari perjalanan hidup Kiai Munawir. Beliau lahir di Dukuh Kranji, Desa Kedungwuni, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan pada bulan Ramadhan yang bertepatan dengan bulan Mei 1910 M. Lingkungan religius sudah menjadi darah dagingnya karena terlahir dari ayah Kiai Miftah dan Nyi Raden Fatumah. Dari jalur ayah, Kiai Munawir adalah generasi ketujuh haji hafidh (Pangeran Bahurekso), seorang senopati Kerajaan Islam Mataram Yogyakarta yang kemudian menjadi Bupati Kendal dan Kiai Nur Anom. Sedangkan dari jalur ibu. Kiai Munawir adalah generasi kedua belas Raden Mas Karebet (Jaka Tingkir).

Baca Juga:  Pesantren Al-Iman Purworejo, Jadi Momen 'Nepungke Balung Pisah' Alumni

Masa kecil dan mudanya lebih banyak dihabiskan untuk belajar dan belajar. Selain belajar kepada sang ayah dan beberapa kiai di lingkungannya, Kiai Munawir juga berkelana ke berbagai daerah di Jawa dan Madura untuk menuntut ilmu dan melakukan ziarah. Kemudian ketika sudah memasuki usia dewasa, Kiai Munawir melanjutkan perjuangan sang ayah untuk berdakwah dan melakukan kegiatan ta’lim di kampung halamannya dan menikah dengan gadis setempat.

Terinspirasi oleh jalan hidup rasulullah, Kiai Munawir hijrah ke Gringsing di era 1950-an. Pengaruhnya yang cukup menentukan irama kehidupan masyarakat membuat Belanda yang ketika itu masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia terus melakukan intimidasi. Tepatnya, saat itu Kiai munawir sedang berjuang bersama beberapa kiai yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama untuk terus mengadakan perlawanan melalui jalur politik, Partai Masyumi.

Baca Juga:  Kemenag Rilis Program Pesantren untuk Kerukunan dan Kesejahteraan Indonesia

Gringsing dipilih sebagai tempat hijrah berdasarkan saran dari beberapa keluarga sang istri yang tinggal di daerah itu. Selain itu, Gringsing juga dinilai sangat kondusif untuk kelangsungan dakwah Kiai Munawir.

Kedatangan Kiai Munawir disambut gembira oleh masyarakat. Di daerah itu, Kiai Munawir bersama masyarakat berdakwah melalui majelis taklim atau pengajian tiap Ahad dan Rabu pagi. Baru pada 1984 beberapa santrinya mulai menginap di sekitar kediaman Kiai Munawir, menandai keberadaan fungsi pesantren.

Bahkan, awalnya Kiai Munawir sesungguhnya tidak mau mendirikan pesantren. Pertimbangannya bukan karena tak mampu, tapi karena tawadhu’ dengan beberapa kiai yang telah mendirikan pesantren di sekitar tempat tinggalnya. Dorongan masyarakat yang begitu kuat membuat Kiai Munawir tak kuasa menolaknya.

Baca Juga:  3 Santri Asal Jawa Timur jadi Pemenang Kompetisi Innofest 2023

Sejak itu, untuk mengakomodasi santri yang menetap Kiai Munawir mulai mengubah proses taklim yang selama ini dilakukan. Yaitu dengan membentuk Madrasah Tsanawiyah Nur Anom dan Madrasah Diniyah Miftahul Anam. Perkembangannya terus berlangsung hingga Kiai Munawwir wafat pada Rabiul Awal 1411 atau Oktober 1990.

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA