Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menjelaskan bahwa seorang Muslim jika menyampaikan suatu janji atau mengikat diri dengan suatu kesepakatan harus menepatinya dengan baik dan melaksanakannya dengan kesadaran dan keinsafan. Salah satu dari tanda kuatnya iman seorang Muslim adalah menepati janji-janji yang telah diucapkannya dan tidak berusaha mengingkari janji atau menariknya kembali.
“Ajaran Islam mewasiatkan agar setiap orang menganggap penting setiap transaksi yang telah ditetapkan dan melaksanakan syarat-syarat yang tertulis di dalamnya,” katanya, Rabu (25/05/2022) dari Facebooknya.
Ia juga menjelaskan, tumbuh suburnya dalam lapangan bisnis, pekerjaan, perusahaan dan organisasi adalah didasarkan atas kesetiaan dalam melaksanakan dan memenuhi janji. Syarat-syarat yang ditetapkan dalam transaksi-transaksinya yang dilaksanakan harus sesuai dengan hukum-hukum Islam, dengan demikian ketentuan itu akan cocok dengan kemaslahatan sesama, karena ajaran Islam adalah sesuai dengan fitrah insani.
“Transaksi yang berkaitan dengan akad, perjanjian dan kesepakatan, dianggap sangat penting dalam ajaran Islam, seperti akad nikah, utang-piutang, pemesanan barang, dan sebagainya,” ucap dosen senior Universitas Indonesia (UI) ini.
Yang berkaitan dengan akad misalnya, lanjut Kiai Zakky, adalah mahar atau maskawin yang diwajibkan bagi mempelai pria untuk diserahkan kepada mempelai wanita. Di antara perjanjian (persyaratan) yang harus dipenuhi adalah sesuai yang berkaitan dengan pernikahan. Karena itu, bila terjadi suatu pernikahan, kedua belah pihak (suami dan istri) tidak boleh mengkhianati hak dan kewajibannya masing-masing.
Selain yang berkaitan dengan akad nikah, masih banyak lagi contoh lain dalam berbagai bidang kehidupan yang menekankan agar manusia dapat menepati perjanjian dengan keinsafan dan kesadaran. Salah satu hal yang dianggap penting, adalah yang berkaitan dengan bisnis termasuk masalah utang-piutang.
“Barang siapa yang berutang, sedang ia tidak berniat untuk melunasinya kepada pemiliknya, maka ia telah menipunya, sampai pemilik itu memperoleh kembali. Bila kemudian orang yang berutang itu meninggal, sedang ia belum melunasi utangnya, ia akan menghadap Allah di Akhirat sebagai seorang pencuri,” jelasnya.
(Ful)