Search

Jadi Tersangka, Haris Azhar Ajukan Praperadilan

Aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mengajukan praperadilan setelah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri. Keduanya ditetapkan tersangka setelah dilaporkan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Sebagai informasi, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dipolisikan terkait video yang diunggah di akun YouTube dengan judul “Ada Lord Luhut Di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” yang berisi perbincangan antara Haris Azhar dan Fatia.

Nurkholis, kuasa hukum Haris dan Fatia, mengatakan pihaknya bakal menempuh jalur hukum praperadilan karena meyakini bahwa seluruh mekanisme internal dan penyidikan diabaikan atau tidak berjalan efektif. “Jika semua mekanisme internal ini tetap diabaikan atau tidak berjalan efektif, kami akan menghadapinya di proses persidangan di pengadilan, dan kami akan mengajukan praperadilan,” katanya dikutip dari CNNIndonesia.com, Sabtu (19/03/2022).

Mekanisme internal itu, kata Nurkholis, adalah hak-hak tersangka yang tertulis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan permintaan adanya saksi dan ahli independen dari pihak kepolisian. “Jadi kami akan tetap meminta adanya saksi-saksi yang meringankan ahli-ahli yang lebih independen, yang harus diperiksa oleh kepolisian, yang nanti akan bermuara pada kesimpulan tentang adanya tindak pidana dalam kasus ini,” ujarnya.

Baca Juga:  PP RMI: Ini Tugas Penting Kaum Santri di Zaman Sekarang

Di samping itu, Nurkholis mengkritik pihak kepolisian yang seharusnya melakukan penyidikan kepada pihak yang diduga terlibat tindak pidana korupsi, dalam hal ini Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan.

Menurut Nurkholis, dalam riset yang disampaikan Fatia lewat kanal YouTube menyatakan ada dugaan korupsi oleh pejabat publik di Intan Jaya, Papua. Maka, seharusnya Polisi mendahulukan penyidikan kasus korupsi ketimbang pencemaran nama baik. “Bahkan ada surat edaran Kabareskrim yang isinya wajib mendahulukan pidana korupsi. Dibanding kasus pencemaran nama baik tentunya,” kata Nurkholis.

Sebelumnya, pada Jumat (18/03/2022) Haris dan Fatia ditetapkan tersangka oleh polisi dalam kasus pencemaran nama baik. Penetapan itu usai proses gelar perkara kasus itu dilakukan beberapa waktu lalu. “Iya benar,” kata Haris saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Baca Juga:  Erick Thohir: Rasio Utang BUMN Turun Jadi 35 Persen

Sementara, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Auliansyah Lubis belum dapat mengonfirmasi hal tersebut. adapun Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan belum merespons pesan singkat ataupun panggilan telepon yang dilayangkan oleh CNNIndonesia.com hingga berita ini dipublikasikan.

Penetapan Haris dan Fatia sebagai tersangka oleh polisi memancing kritikan dari para aktivis HAM dan pakar hukum. Di antaranya dari pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti. Dia menyebut penetapan tersangka aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti merupakan upaya pemerintah membungkam aktivis yang kritis pada negara. “Saya kira ini memang cara penguasa untuk membungkam aktivis. Hukum itu benar-benar digunakan secara efektif untuk autocratic legalism,” kata Bivitri secara virtual dalam diskusi Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Sabtu (19/03/2022).

Dia menjelaskan, autocratic legalism yang dimaksud yaitu cara pandang yang melihat segalanya secara legalistik, seakan diakomodasi oleh aturan atau dilakukan oleh aparat berseragam dan dianggap benar. “Jadi, kalau kita mengutip literatur autocratic legalism dibilang ini cara yang jauh lebih mengerikan dari kudeta, melebihi kudeta pakai tank dan tentara,” ujarnya.

Baca Juga:  KH Said Aqil Siroj Hadiri Pelantikan NU di Majalengka

Dia menilai penetapan tersangka Haris dan Fatia dianggap efektif karena masyarakat akan menganggap apapun yang dilakukan penguasa adalah benar, karena bertindak atas nama hukum. Sementara yang terjadi sebenarnya, kata Bivitri, hukum yang diterapkan tidak adil.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur berpendapat ada proses yang janggal dan serupa rezim Orde Baru dalam penetapan tersangka kedua aktivis itu. Dia menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi alat pemerintah untuk membungkam aktivis, seperti era pemerintahan Soeharto.

“Ini semakin menebalkan pasal UU ITE menjadi cara membungkam aktivis. Sama seperti jaman orde baru orang dibungkam dan sekarang sama pakai UU ITE,” ujarnyapada kesempatan yang sama. NF

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA