Banyak cara memuliakan bulan Sya’ban. Meski terkadang bulan mulia ini dilupakan oleh Umat Islam. Lalu bagaimana Allah SWT memuliakan bulan yang diapit oleh Rajab dan Ramadhan ini?
Secara bahasa, sya’ban berasal dari kata syi’ab yang artinya jalan di atas gunung. Makna ini selaras dengan posisi bulan Sya’ban yang menyongsong bulan Ramadhan. Hal ini merupakan kiasan bahwa bulan kedelapan dalam kalender Hijriyah tersebut, merupakan momen tepat untuk menapaki jalan kebaikan secara lebih intensif, mempersiapkan diri menyambut bulan paling mulia, yakni Ramadhan.
Posisi bulan Sya’ban yang terletak di antara Rajab dan Ramadhan, seringkali kurang mendapat perhatian lebih dibanding dua bulan mulia yang menghimpitnya itu. Pada Rajab, keutamaan-keutamaan seputar puasa dan amalan lainnya kerap kita dengar.
Di bulan Rajab pula kita mengenang peristiwa dahsyat yang dialami Rasulullah: Isra’ Mi’raj. Bulan Ramadhan lebih hebat lagi. Orang-orang seakan-akan menjadi manusia baru, berburu fadhilah dan pahala berlipat di bulan suci ini. Tidak demikian dengan Sya’ban. Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Nasai, Nabi menyebut Sya’ban sebagai bulan yang biasa dilupakan umat manusia.
Dilupakan bukan berarti terhina. Ia diabaikan manusia karena manusianya sendiri yang kurang menyadari kemuliaan bulan Sya’ban, bukan akibat bulan Sya’ban itu sendiri tidak mulia. Sikap ini biasanya hanya terjadi di kalangan awam atau orang-orang yang secara ruhani belum mendekat kepada Allah.
Para salafus shalih memberi perhatian lebih pada bulan ini dengan beragam kegiatan ibadah, utamanya pada momen nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Bukti dari mulianya bulan Sya’ban, bisa kita lihat dari sejumlah peristiwa penting bersejarah di dalamnya. Peristiwa-peristiwa ini bisa dipandang bukan semata sebagai fakta historis tapi juga pertanda bahwa Allah memberikan perhatian spesial terhadap bulan ini.
Pertama, pada bulan Sya’ban, Allah SWT menurunkan ayat perintah bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang tercantum dalam Surat al-Ahzab ayat 56: “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Mayoritas ulama, khususnya dari kalangan mufassir, sepakat bahwa ayat ini turun di bulan Sya’ban. Secara bahasa, shalawat berakar dari kata sholat yang berarti doa. Dalam ayat tersebut ada tiga shalawat: shalawat yang disampaikan Allah, shalawat yang disampaikan malaikat, dan (perintah) shalawat yang disampaikan umat Rasulullah SAW.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya—mengutip pernyataan Imam Bukhari—menjelaskan bahwa “Allah bershalawat” bermakna Dia memuji Nabi, “Malaikat bershalawat” berarti mereka sedang berdoa, sementara “manusia bershalawat” selaras dengan pengertian mengharap berkah.
Ayat tersebut menjadi bukti kedudukan Rasulullah yang tinggi. Kemuliaan dan rahmat dilimpahkan langsung oleh Allah kepada beliau, malaikat-malaikat suci terlibat dalam merapalkan doa-doa, dan seluruh kaum beriman pun diperintah untuk mengucapkan shalawat kepadanya.
Wajar sekali bila Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak shalawat di bulan Sya’ban, di samping bergegas membersihkan diri atau bertobat dari kesalahan-kesalahan yang sudah lewat guna menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih.
Kedua, bulan Sya’ban merupakan saat diturunkannya kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Imam Abu Zakariya an-Nawawi dalam al-Majmû‘ Syarah Muhadzdzab menjelaskan, bahwa Rasulullah menunaikan puasa Ramadhan selama sembilan tahun selama hidup, dimulai dari tahun kedua Hijriah setelah kewajiban berpuasa tersebut turun pada bulan Sya’ban.
Puasa merupakan kegiatan penting guna meredam nafsu yang sering menuntut dimanjakan. Melalui puasa, manusia ditempa secara ruhani untuk menahan berbagai godaan duniawi, bahkan untuk hal-hal yang dalam kondisi normal (tak berpuasa) halal. Menahan diri dari hal-hal halal seperti makan, minum, berhubungan dengan istri, menjadi sinyal kuat bahwa sesungguhnya ada yang lebih penting dari kenikmatan dunia yang fana ini, yakni kenikmatan Akhirat, berjumpa dengan Allah SWT.
Bulan Ramadhan merupakan bulan paling mulia di antara bulan-bulan lainnya. Artinya, Sya’ban merekam sejarah penting “diresmikannya” kemuliaan Ramadhan dengan difardhukannya puasa bagi kaum mukminin selama sebulan penuh. Sya’ban menjadi tonggak menyambut bula suci sebagai anugerah besar dari Allah yang melipatgandakan pahala segala amal kebaikan di bulan Ramadhan.
Ketiga, bulan Sya’ban juga menjadi sejarah dimulainya Ka’bah menjadi kiblat umat Islam yang sebelumnya adalah Masjidil Aqsha. Peristiwa peralihan kiblat ini ditandai dengan turunnya ayat 144 dalam Surat al-Baqarah: “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Saat menafsirkan ayat ini, Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkâmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.
Kiblat menjadi simbol tauhid karena seluruh umat Islam menghadap pada satu tujuan. Beralihnya kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram juga menegaskan bahwa Allah tak terikat dengan waktu dan tempat. Hal ini ditunjukkan dengan sejarah perubahan ketetapan kiblat yang tidak mutlak dalam satu arah saja. Umat Islam tidak sedang menyembah Ka’bah ataupun Masjidil Aqsha melainkan Allah SWT.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang tidak menyia-nyiakan bulan Sya’ban, meski di tengah kesibukan duniawi yang luar biasa. Al-faqir mengajak kepada jamaah sekalian untuk menyisihkan waktu untuk meningkatkan kedekatan kita kepada Allah, melalui kontemplasi, dzikir, dan amal kebaikan, lebih-lebih di bulan mulia ini. Wallahu a’lam. sir,nuo