Pada setiap bulan Rajab, umat Islam di berbagai belahan dunia menyelenggarakan perayaan Isra’ Mi’raj, sebuah peristiwa agung yang merupakan salah satu mukjizat yang Allah anugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pada peristiwa Mi’raj Nabi SAW mendapat perintah melaksanakan ibadah Shalat.
Mukjizat Isra’ telah disebutkan dalam Al-Quran secara tegas dan eksplisit. Oleh karenanya, barangsiapa mengingkari Isra’, maka ia telah mendustakan Al-Quran. Sedangkan Mi’raj, Al-Quran tidak menyebutkannya secara sharih dan eksplisit, akan tetapi menyatakannya dengan keterangan yang mendekati nash yang sharih (eksplisit).
Allah SWT berfirman: “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kalian (musyrikin Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha” (QS an-Najm: 11-14).
Oleh karena itu, para ulama Ahlussunnah menyatakan: Barangsiapa mengingkari mukjizat Mi’raj karena ketidaktahuannya tentang adanya Mi’raj dalam syara’, maka ia tidak kafir, akan tetapi dihukumi fasiq, karena Al-Quran tidak menyebutkan Mi’raj secara eksplisit. Berbeda dengan Mukjizat Isra’ yang disebutkan secara eksplisit. Sedangkan seseorang yang mengingkari Mi’raj dengan maksud menentang ajaran agama, maka ia tidak lagi tergolong kaum muslimin.
Setelah Rasulullah SAW menjadi imam shalat bagi para nabi di Baitul Maqdis, maka Rasulullah dibawa naik ke langit. Jibril pun meminta dibukakan pintu langit dan dikatakan kepadanya: Siapa anda? Jibril menjawab: Jibril. Ditanyakan: Siapa yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Ditanyakan lagi: Apakah ia telah diutus untuk Mi’raj ke langit? Jibril menjawab: Iya, ia telah diutus untuk Mi’raj.
Nabi SAW menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadits yang panjang: “Lalu pintu langit pertama dibuka untuk kami. Ternyata sudah ada Nabi Adam di sana. Ia pun menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril bersamaku naik ke langit kedua, lalu ia meminta dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa anda? Jibril menjawab: Jibril. Ditanya lagi: Siapa yang bersamamu? Jibril menjawab: Muhammad. Ditanya lagi: Apa sudah saatnya Muhammad dimi’rajkan? Jibril menjawab: Iya, sudah saatnya dimi’rajkan.
Lalu pintu langit kedua dibuka untuk kami. Ternyata sudah ada dua nabi bersaudara sepupu di sana, yaitu Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya AS. Keduanya menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.” Demikianlah, Nabi Muhammad SAW berpindah dari satu langit ke langit berikutnya.
Di langit ketiga, Nabi SAW bertemu dengan Nabi Yusuf AS yang telah dikaruniai ketampanan yang luar biasa. Di langit keempat, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Idris AS. Nabi Yusuf dan Nabi Idris AS juga mendoakan kebaikan untuk Nabi Muhammad SAW.
Kemudian di langit kelima Nabi bertemu dengan Nabi Harun AS, di langit keenam bertemu dengan Nabi Musa AS, dan di langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim AS yang menyandarkan punggungnya ke al-Bait al-Ma’mur.
Al-Bait al-Ma’mur adalah bangunan yang mulia tempat thawaf bagi para malaikat, yang merupakan penghuni langit sebagaimana Ka’bah adalah tempat thawaf bagi para penghuni bumi. Setiap harinya, al-Bait al-Ma’mur dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat untuk melakukan shalat di sana lalu keluar dan tidak kembali ke sana selamanya. Begitu seterusnya sampai hari kiamat.
Setelah itu Jibril membawa Nabi naik hingga ke Sidratul Muntaha. Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon yang sangat besar nan indah menakjubkan, daun-daunnya lebar seukuran telinga gajah dan buah-buahnya besar seperti qullah (gentong). Akarnya berada di langit keenam dan menjulang tinggi sampai mencapai atas langit ketujuh.
Rasulullah SAW melihatnya sewaktu beliau berada di atas langit ketujuh. Rasulullah SAW menceritakan: “Tidak seorang pun di antara makhluk Allah yang mampu menyifati Sidratul Muntaha saking indahnya.
Kemudian Allah mewahyukan kepadaku beberapa hal: Allah wajibkan kepadaku 50 kali shalat dalam sehari semalam, lalu aku turun menemui Nabi Musa. Ia bertanya: Apa yang Allah wajibkan kepada ummatmu? Aku menjawab: 50 kali shalat. Musa berkata: Kembalilah ke tempat yang di sana engkau menerima wahyu dan berdoalah meminta keringanan kepada Allah, karena ummatmu tidak akan mampu melakukannya, aku telah memiliki pengalaman dengan Bani Israil tentang hal semacam ini.”
Maka Nabi SAW kembali ke tempat semula dan meminta keringanan kepada Allah seraya berkata: “Ya Allah berilah keringanan untuk ummatku.” Nabi bersabda: “Maka Allah mengurangi menjadi lima shalat. Lalu aku kembali kepada Nabi Musa dan aku berkata: Allah mengurangi menjadi lima shalat untukku. Musa berkata: Umatmu tidak akan mampu melakukan itu, maka mintalah kembali kepada-Nya keringanan.”
Maka Nabi pun beberapa kali memohon keringanan kepada Allah hingga Allah mewahyukan kepadanya kewajiban shalat lima kali sehari semalam, setiap shalat terhitung pahalanya seakan-akan sepuluh shalat, sehingga totalnya menjadi lima puluh shalat. Allah juga mewahyukan kepada Rasulullah SAW, bahwa barangsiapa berkeinginan melakukan satu kebaikan lalu tidak jadi mengerjakannya, maka dihitung satu kebaikan, dan jika dia mengerjakannya dihitung sepuluh kebaikan. Dan barangsiapa berkeinginan melakukan keburukan dan tidak mengerjakannya maka tidak dicatat sebagai keburukan, jika dia mengerjakannya maka dihitung satu keburukan. Wallahu a’lam bisshawab. sir,nuo