Search

Badriyah Fayumi, Penulisan Sejarah Bias Gender

Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadist Kota Bekasi, Jawa Barat, Nyai Hj Badriyah Fayumi menyayangkan bahwa sejauh ini penulisan sejarah Indonesia masih bias gender. Pasalnya, banyak sejarah perempuan berikut kontribusinya di masa lalu, tapi tidak tertulis dalam buku-buku sejarah.

Berangkat dari hal itu, Nyai Badriyah mendorong kepada sejarawan, terkhusus Nahdlatut Turats untuk mengungkap peran-peran perempuan dalam sejarah Indonesia dan menuliskannya.

“Ini (peran perempuan dalam sejarah) juga bagian dari kekayaan sejarah Nusantara yang juga semoga menjadi kajian penting dari teman-teman pegiat turats Nusantara (Nahdlatut Turats) karena ini juga bagian dari Islam Nusantara,” katanya dalam acara ‘Pekan Memorial Syekh Nawawi Banten’ di The Sultan Hotel dan Residence, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Senin (07/02/2022).

Baca Juga:  Najwa Shihab Tiga Teladan Gus Sholah

Lebih lanjut, dalam acara bertajuk Kebangkitan Turats Nusantara dari Indonesia untuk Peradaban Dunia, ia memaparkan peran perempuan dalam sejarah Indonesia menempati posisi-posisi strategis, baik di kepemimpinan ranah publik maupun peran-peran penting di ranah domestik. Hal ini sudah berlangsung sejak sebelum Islam datang di Nusantara sekalipun.

Seperti Ratu Shima yang menjadi penguasa Kerajaan Kalingga yang terletak di pantai utara Jawa Tengah sekitar tahun 674 M dan Tribhuwana Wijayatunggadewi yang menjadi penguasa ketiga dan ratu berdaulat atau raja putri Majapahit yang memerintah tahun 1328-1350 M.

“Dalam kerajaan Islam pun terdapat 17 lebih ratu Muslim yang dilupakan sejarah, empat di antaranya dari Nusantara, tapi ternyata lebih dari empat karena empat itu ari Aceh. Di luar itu (Aceh), ada Ratu Intoraya, Ratu Aisyah, Ratu Kalinyamat, dan Ratu Sinuhun dari Palembang,” papar Nyai Badriyah.

Baca Juga:  Tri Rismaharini Jawab Permintaan Warga Pedalaman

“Sayangnya penulisan sejarah yang cukup tidak berimbang ini sering menenggelamkan ini (sejarah perempuan),” imbuhnya.

Contoh bias gender sejarah yang paling nyata, terangnya, adalah tentang sejarah Sultanah Safiatuddin dari Aceh yang berkuasa selama 35 tahun. Ia adalah putri dari Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah. (Ful)

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA