Menjadi perempuan karir harusnya tetap tidak meninggalkan kewajiban sebagai istri dan ibu rumah tangga. Begitulah yang dilakukan Nanik Anjarwati, istri Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Nah, bagaimana cara membagi tugas rumah dan karir. Berikut ulasannya.
Memiliki latar belakang yang berbeda dengan sang suami Prof Masdar Hilmy rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Nanik Anjarwati secara tidak langsung terdorong memiliki segudang aktivitas baru. Terutama dalam memimpin persatuan Dharmawanita, UINSA.
“Anggota saya ada yang S2, PNS, saya melihat itu merupakan sebuah aset, tidak berarti saya minder, hanya memikirkan bagaimana saya mengelola aset untuk bersama-sama melakukan pengembangan dan kemajuan,” ujar perempuan kelahiran Ponorogo 11 Agustus 1978.
Nanik mengakui, ketika masuk dalam lingkup organisasi memang harus menyesuaikan diri. Karena ini sangat berbeda dengan organisasi kemahasiswaan yang biasa ia ikuti. Seiring berjalanya waktu, kepercayaan dari anggota mulai diperoleh. “Bagi saya, yang penting kita percaya diri dengan apa yang kita punya, bukan kita berpura-pura, orang akan menerima kita apa adanya. Alhamdulillah di Dharmawanita, berjalan lancar. Walaupun anggota saya sekolahnya lebih tinggi dari saya, tapi mereka respect terhadap saya,” aku ketua persatuan Dharmawanita UINSA ini.
“Proses adaptasi yang saya butuhkan tidak memerlukan waktu lama. Karena waktu itukan bapak (Prof Masdar) di pascasarjana UINSA menjadi wakil direktur, meskipun secara organisasi saya tidak berkecimpung tapi saya belajar, bapak kan sebagai pemimpin jadi saya harus bisa menyesuaikan diri dengan cepat,” imbuhnya.
Posisi Masdar Hilmy sebagai pemimpin banyak memberikan pelajaran lebih bagi dara asal Ponorogo ini. Dirinya jadi lebih sering melakukan kegiatan sosial, dan memaksanya untuk belajar menjadi leader bagi para pemimpin, atau istri dari dosen UINSA untuk lebih guyub. “Saya ingin organisasi perempuan di kampus bisa tampil dan lebih produktif lagi,” tuturnya.
Menurutnya, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemampuan dari pendidiknya untuk merubah karakter generasi penerusnya ke depan. Sama seperti upaya pengembangan organisasi perempuan khusunya di kampus.
Baginya, perempuan berpendidikan menjadi contoh penting bagi perkembangan anak-anak mereka di masa depan. Agar generasi penerus membiasakan diri untuk berkarakter yang mulia dan produktif. Seperti halnya perempuan lulusan S1 Sejarah Kebudayaan Islam UINSA ini, sejak kecil dirinya diajarkan oleh orang tuanya untuk menjadi orang yang mandiri, jujur dan berbuat baik pada sesama. Jangan sampai menyakiti orang lain. Istilahnya, kalau nggak mau dicubit jangan nyubit orang lain.
“Sederhana yang diajarkan orang tua saya, bagaimana bergaul dengan teman, masyarakat, guru, menjaga sikap dan perilaku kita, jangan sampai melanggar aturan-aturan agama, begitulah yang menjadikan saya sebagai orang yang senantiasa percaya diri, dan itu bukan sombong,” ujarnya.
Meskipun ia lahir dari keluarga petani, namun orang tuanya selalu memikirkan bagaimana agar anaknya bisa sekolah. “Ibu saya itu orangnya sangat kolot mendidik anak-anaknya, tetapi tidak mau anak-anaknya bodoh dan tetap harus sekolah,” kata putri dari bapak Jembar dan Ibu Sunarti.
Setia Dampingi Suami
Menjadi mahasiswa yang memegang teguh prinsip hubungan yang diterapkan orang tuanya. Apalagi berkaitan dengan asmara. Nanik melihat dirinya sulit sekali menanggapi perasaan laki-laki yang menyukainya. “Ayah saya selalu mengatakan, kalau perempuan harus jaga diri, apalagi pergaulan di luar itu bahaya,” ceritanya.
Tetapi melihat teman-teman sebayanya, tepatnya ketika dirinya duduk semester 7 UINSA. Ia mulai ada perasaan khawatir dengan jodoh. Disitulah kemudian ia mendapatkan jalan pertemuan dengan calon suaminya. ”Waktu itu saya tinggal di asrama putri UINSA, kemudian ada teman saya mengenalkan Hilmy kepada saya, seiring berjalanya waktu saya meminta dia untuk berani melamar ke orangtua saya jika dia memang serius dengan saya,” ungkapnya.
Dari disitulah takdir menyatukannya dengan Masdar Hilmy. Meskipun waktu itu ia masih dalam proses skripsi. Dalam diri seorang mahasiswa, ia mendapatkan pertentangan dalam hidup. Setelah menikah, Nanik berfikir untuk apa dirinya kuliah. “Saya sempat berfikir keras dan memiliki keinginan untuk memikirkan karir, sekolah kembali, dan bekerja,” ungkapnya.
Akan tetapi ketika sang suami diterima kuliah di Melbourne University, maka dirinya harus mendampingi suami dan memendam keinginannya untuk bekerja. Setelah lulus ia menemani suami menempuh pendidikan di Australia.
Pada awalnya memang ada culture shock, tetapi itu ia rasakan hanya sementara. Untuk selanjutnya ia tidak merasa kesulitan. Karena disana dirinya dituntut untuk cepat menyesuaikan diri. “Saya harus keluar sendiri, ya walaupun harus dua minggu untuk saya berani keluar sendiri, belanja sendiri, ke bank sendiri, awalnya selama dua minggu itu saya minta diantar, akhirnya seiring berjala waktu saya mulai punya keberanian,” ceritanya mengingat kondisi saat itu.
Saat itu, ketika sang suami melakukan kuliah di Melbourne University ada Posh a English Program. Program dimana ketika yang sekolah suaminya, istrinya bisa ikut program itu, begitupun sebaliknya. “Jadi kita ada kegiatan awal tahun pertama saya ikut ke kampus juga, ikut Posh a English Program. Mengikuti trip tempat-tempat di sana. Agar Kita bisa mengetahui dasar-dasarnya kehidupan di sana seperti apa,” tuturnya.
Tak hanya itu, dirinya juga mendapatkan pengalaman bekerja pertama kali ketika tahun kedua di Australia. “Kalau tidak ada kegiatan itu saya merasa boring juga, lucunya itu saya mengawali pekerjaan justru dengan kerja di Australia,” tambahnya.
Nanik mengaku, sempat bekerja di perusahaan coklat yang karyawannya berasal dari berbagai negara sehingga harus bisa beradaptasi. Pengalaman yang lain, perempuan yang bercita-cita menjadi seorang guru ini juga sempat bekerja sebagai seorang staf pembantu di salah satu SMP. “Cita-cita saya dulu pingin jadi guru, muridnya banyak seneng rasanya,” ungkapnya.
Namun seiring berjalannya waktu dan setelah berdiskusi dengan sang suami, dirinya akhirnya memutuskan untuk berhenti mengajar. “Karena di sekolah itu butuh komitmen harus aktif setiap harinya, dan saya nggak bisa,” imbuhnya.
Hal itu tidak membuatnya berhenti untuk mewujudkan cita-citanya. Dirinya berfikir bahwa sosok seorang guru tidak harus berada di lingkungan sekolah saja, melainkan dimanapun dan kapanpun dirinya berada. “Kita bisa menjadi guru, misalnya ketika di rumah kita bisa menjadi guru untuk anak-anak kita, di komunitas tertentu saya merasa harus menjadi guru yang baik. Jadi contoh yang baik itukan sudah seperti guru,” kata ibu dari dua anak ini.
Perempuan yang hobi olahraga yoga ini juga menyebarkan kegemarannya di Dharmawanita. Saat ini kegiatan yang ia lakukan sudah berjalan satu hingga dua bulan. Ia mangajak anggotanya untuk menerapkan pola hidup sehat. “Kita harus menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama, harus selalu berbuat baik semampu kita, lakukan hal-hal positif di lingkungan sekitar kita dan harus ada capaian-capaian yang harus bisa kita lakukan,” pungkasnya. * Diah