Search

9 Kerajaan Islam yang Tetap Eksis di Nusantara

Berdirinya Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kerajaan atau kesultanan yang pernah berdiri di Nusantara. Beberapa kesultanan bahkan ada yang secara sukarela melepaskan kedaulatannya dan bergabung dengan NKRI. Meski sudah tidak mempunyai kedaulatan secara penuh, tetapi beberapa kesultanan masih tetap eksis dan mempunyai sultan (raja). Mereka mempunyai misi untuk menjaga, meneruskan dan mempertahankan tradisi, norma, nilai, identitas dan kearifan budaya yang telah dibangun sejak zaman dahulu. Berikut 9 Kerajaan Islam yang tetap eksis di Indonesia versi Majalah Aula.

 

  1. Kesultanan Yogyakarta

Nama resminya adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada zaman Belanda, kedaulatan dan kekuasaannya diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Yogyakarta, yakni Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950 status negara dependen Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa, setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kesultanan Yogyakarta merupakan penerus dari Kerajaan Islam Mataram yang berdiri pada akhir abad ke-16. Kerajaan ini berpusat di Kota Gede (sebelah tenggara Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin terganggu akibat intervensi penjajah Belanda. Hingga timbullah gerakan anti penjajah di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Perselisihan berakhir dengan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Selanjutnya, pada tanggal 13 Maret 1755 proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan.

Pada tanggal 20 Juni 1812, Inggris menyerang dan memasuki keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan Hamengku Buwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I. Adipati Paku Alam I akhirnya mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman pada 17 Maret 1813.

Puncak perkembangan kesusastraan Islam keraton di Jawa terjadi selama kolonialisasi Belanda masuk ke jantung Mataram dan memecahnya menjadi Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Pura Mangkunegaran. Di Keraton Yogyakarta, setidaknya berlangsung hingga masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V, produksi sastra Islam terjadi secara besar-besaran.

Kesultanan Yogyakarta saat ini dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X, yang lahir dengan nama Bendara Raden Mas Herjuno Darpito, yang menjabat sejak tahun 1989. Juga sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ketiga yang menjabat sejak 3 Oktober 1998.

 

  1. Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Sunda. Kerajaan ini berdiri sekitar Abad ke 15 Masehi. Pangeran Cakrabuana (1430-1479) yang merupakan putra Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran) adalah yang pertama kali membuat Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.

Letaknya sangat strategis dan penting sebab menghubungkan berbagai jalur perdagangan antar pulau. Lokasinya di sebelah utara Pulau Jawa, antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuat Cirebon sebagai penghubung dua kebudayaan sekaligus yakni Jawa dan Sunda. Berdirinya Kesultanan Cirebon ternyata tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Demak yang ada di Jawa Tengah.

Cirebon kemudian berkembang dengan cukup pesat, terutama saat dipimpin Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, keponakan dari Pangeran Cakrabuana. Sunan Gunung Jati melanjutkan estafet pemerintahan dari tahun 1479 hingga 1568. Pada kepemimpinannya, Kesultanan Cirebon memasuki masa kejayaan. Semua sektor berkembang dengan pesat mulai dari agama, politik, hingga perdagangan. Persebaran agama Islam juga sangat pesat.

Masa keemasan dari Kesultanan Cirebon ternyata tidak bisa bertahan lama. Kesultanan ini mengalami masa kemunduran pada 1568. Tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelar Sultan Raja Syamsuddin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom bergelar Sultan Muhammad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Keraton Pakungwati dan Sultan Anom membangun keraton di bekas rumah Pangeran Cakrabuana. Sedangkan Sultan Cirebon berkedudukan sebagai wakil Sultan Sepuh.

Hingga sekarang di Cirebon terdapat tiga sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon. Keberadaan ketiga sultan juga ditandai dengan adanya keraton, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.

Di Kesultanan Kasepuhan sendiri, sepeninggal Sultan Sepuh XV PRA Arief Natadiningrat (2020), terjadi polemik perebutan tahta hingga kini ada tiga Sultan. Pertama, Sultan Luqman Zulkaedin Keraton Kasepuhan XV; Kedua, Rahardjo Djali yang didapuk sebagai Sultan Aloeda II; dan ketiga, Pangeran Wisnu Lesmana sebagai Sultan Jayawikarta III Keraton Kasepuhan Cirebon.

Baca Juga:  Kenalkan Citarasa Nusantara, Ajak Wisatawan Tanam Anakan Kopi Juria NTT

Kesultanan Kanoman saat ini dijabat oleh Sultan Anom XII Pangeran Raja Muhammad Emirudin, sedangkan Kesultanan Kacirebonan dijabat oleh Sultan Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga.

 

  1. Kesultanan Palembang

Kesultanan Palembang Darussalam adalah kerajaan bercorak Islam yang berdiri di Palembang, Sumatra Selatan pada abad ke-17 yang diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa. Pada masa jayanya, wilayah kekuasaannya pernah mencakup Provinsi Sumatra Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Jambi, dan Lampung.

Menurut sejarah, Islam masuk ke Palembang diperkirakan pada awal abad ke-8 Masehi. Pada abad ke-7 disebutkan dalam buku sejarah Cina, Dinasti Tang memberitakan utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 M. Karena Sriwijaya sering dikunjungi pedagang Arab dalam jalur pelayaran, maka Islam saat itu merupakan proses awal Islamisasi atau permulaan perkenalan dengan Islam. Masuknya Islam di Sumatra Selatan, selain oleh para pedagang Bangsa Arab utusan dari Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Dinasti Abbasiyah (750-1268 M), juga pedagang Sriwijaya sendiri yang berlayar ke Timur Tengah.

Sejak 1601, Kerajaan Palembang tercatat telah berhubungan dengan VOC. Namun kerja sama memburuk karena VOC bertindak semaunya. Keraton pertama Kesultanan Palembang didirikan di Kuto Gawang habis dibakar oleh VOC pada 1659. Lalu Sultan Abdurrahman memindahkan keraton ke Beringin Janggut, yang terletak di sekitar Masjid Lama. Pada periode pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), keraton kesultanan dipindahkan ke Kuto Tengkurak. Kemudian pada saat Sultan Muhamad Bahauddin (1776-1803) naik takhta, pusat pemerintahan berpindah ke Kuto Besak. Keraton Kuto Besak adalah istana terbesar yang pernah dibangun Kesultanan Palembang dan masih berdiri hingga sekarang.

Pada 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang resmi dihapus oleh Belanda. Setelah sekian lama, Majelis Adat Palembang memutuskan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Palembang dan melantik Raden Muhammad Syafei Prabu Diraja sebagai sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin III. Penobatan tersebut berlangsung di Masjid Lawang Kidul, dekat makam Sultan Mahmud Badaruddin I, pada 2003. Kesultanan Palembang Darussalam dihidupkan kembali dengan tujuan sebagai simbol, penerus dan penjaga kebudayaan di Sumatra Selatan.

Sultan Mahmud Badaruddin III kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, yang naik takhta pada 2017 hingga sekarang.

  1. Kesultanan Banjar

Kesultanan Banjar adalah kerajaan Islam di Kalimantan yang didirikan pada 1520 M oleh Pangeran Samudera yang bergelar Sultan Suriansyah. Sebelum memeluk Islam, Kerajaan atau Kesultanan Banjar masih bercorak agama Hindu dan terdiri dari dua kerajaan Hindu, yakni Daha dan Kahuripan. Masa kejayaan Kesultanan Banjar terjadi pada abad ke-17 di bawah kepimpinanan Sultan Mustain Billah (1595-1638 M). Saat itu, Banjar menjadi bandar perdagangan besar dengan komoditas utamanya terdiri dari lada hitam, madu, rotan, emas, intan, damar, dan kulit binatang.

Luas wilayah kekuasaannya hingga mencapai Sambas (Kalbar), Kotawaringin (Kalteng), Pulau Laut (Kalsel) dan Kutai (Kaltim). Pada mulanya ibukota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin, tapi saat Belanda menghancurkan Keraton Banjar pada 1612 M akhirnya ibukota berpindah ke Martapura.

Kesultanan Banjar mengalami kemunduran pada abad ke-19 setelah Perang Banjar melawan Belanda pecah pada 1859. Sultan Banjar ke-20, Pangeran Antasari dengan dibantu para panglima dan pengikutnya, terus berjuang mempertahankan diri melawan Belanda. Pada 1862, Pangeran Antasari gugur dalam pertempuran dan tahtanya diteruskan oleh Sultan Seman. Sultan Seman juga meninggal pada 1905 dalam suatu pertempuran hingga berakhirlah kedaulatan Kesultanan Banjar.

Kesultanan Banjar dihidupkan kembali menyusul terpilihnya Pangeran Haji Khairul Saleh sebagai Raja Muda Banjar pada Musyawarah Tinggi Adat Kesultanan Banjar di Hotel Arum Banjarmasin, 24 Juli 2010. Lalu pada Milad Kesultanan Banjar ke-508, mendaparkan gelar Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu’tasim Billah. Sultan Banjar sekarang bertindak sebagai pemangku adat masyarakat Banjar yang sekarang terdiri atas 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan.

Sebagai kesultanan besar di Kalimantan, Kesultanan Banjar juga meninggalkan warisan sejarah yang masih berdiri sampai saat ini, di antaranya Masjid Sultan Suriansyah dan makam para raja-raja dari Kesultanan Banjar.

 

  1. Kesultanan Kadriyah Pontianak

Islam masuk ke Kalimantan Barat melalui kekuatan ekonomi dan perdagangan, seperti di daerah-daerah lainnya di Nusantara. Islam disebarkan oleh para pedagang muslim dan dai kelana, yang juga tertarik pada perdagangan atau semata-semata bertujuan menyebarkan Islam.

Di Mempawah, Habib Husein Al-Qadrie sebelum wafat tahun 1184 H, menikahkan putranya yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dengan putri Raja Mempawah, Utin Cendramidi. Ketika beliau berada di Banjar, oleh Sultan Banjar diangkat menjadi Pangeran Sayid Abdurrahman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein Al-Qadrie.

Baca Juga:  Treasure Bay Bintan, Kolam Buatan nan Eksotis Terbesar di Kepri

Pada masa awal masuknya Islam yang dibawa oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, penganut Islam masih sedikit. Tetapi, setelah berdirinya Kesultanan Islam Pontianak pada tahun 1771 M, maka agama Islam lambat laun menjadi agama mayoritas. Kehadiran kesultanan yang bercorak Islam membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan agama Islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak yang terletak di pinggir sungai Kapuas menyebabkan Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat di sekitar Kesultanan Pontianak seperti Kampung Bansir, Kampung Kapur, Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon sangat kental dengan pengaruh agama Islam.

Pada 29 Oktober 1945, Syarif Hamid II dinobatkan sebagai sultan yang dikenal sebagai Sultan Hamid II. Saat itu, bertepatan dengan tahun Proklamasi Indonesia. Ia yang memprakarsai Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu lainnya di Kalimantan Barat untuk bergabung dengan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sepeninggal Sultan Hamid II tahun 1978, terjadi kekosongan jabatan selama 25 tahun. Baru pada 29 Januari 2001, seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak, yang bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya. Hingga pada 15 Januari 2004, diangkatlah Syarif Abu Bakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak ke VIII. Lalu pada 15 Juli 2017 digantikan oleh Sultan Syarif Mahmud bin Abubakar al-Qadrie hingga sekarang.

 

  1. Kesultanan Ternate

Kerajaan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257 M. Kesultanan yang dulu bernama Kerajaan Gapi ini belum bercorak Islam. Agama Islam mulai menyebar di Ternate pada abad ke-14 dan keluarga kerajaan baru memeluk Islam pada masa pemerintahan Kolano Marhum (1432-1486 M).

Kolano Marhum menjadi Raja Ternate pertama yang memeluk Islam. Putranya, Zainal Abidin, meneruskan dan mulai memberlakukan hukum-hukum Islam ketika berkuasa berkuasa antara 1486–1500 M. Setelah bertransformasi menjadi kesultanan Islam, gelar kolano atau raja kemudian diganti dengan sultan.

Dalam perkembangannya, Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaan ketika diperintah oleh Sultan Babullah (1570-1583 M). Kesultanan ini berhasil memperluas wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate yang membentang dari Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Timur, Sulawesi Tengah, bagian selatan Kepulauan Filipina, dan Kepulauan Marshall di Pasifik. Pencapaian tersebut membuat Sultan Baabullah dijuluki sebagai Penguasa 72 Pulau yang semuanya berpenghuni. Selain itu, juga mengalami perkembangan pesat terutama dalam angkatan militer, bidang perdagangan dan pelayaran, berkat kekayaan rempah-rempahnya.

Kestabilan kerajaan sempat terancam ketika bangsa Portugis mulai menginjakkan kaki di Tanah Ternate. Terlebih lagi, Portugis juga mendirikan benteng yang diberi nama Benteng Sao Paulo di Ternate. Bangsa Portugis akhirnya dapat dikalahkan dan diusir pada 1577 M.

Meski sempat jatuh ke tangan VOC, Kesultanan Ternate masih ada hingga saat ini. Sultan Ternate sekarang bernama Sultan Syarifuddin bin Iskandar Muhammad Djabir Sjah, yang menjabat sebagai sultan ke-49 sejak 2016. Dan pada 2 November 2021 di Foris Lamo Keraton Kesultanan Ternate, Bobato 18 (dewan adat) Kesultanan Ternate mengukuhkan Hidayat Mudaffar Sjah sebagai Sultan Muda Kesultanan Ternate.

 

  1. Kesultanan Tidore

Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Pulau Tidore, Maluku Utara, dan mengalami masa kejayaan sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18.

Pada 1495, saat kerajaan dipimpin oleh Sultan Ciriliati, agama Islam masuk ke Kerajaan Tidore. Ciriliati atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Hal ini kemudian mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya

Sepeninggal Sultan Jamaluddin, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Al Mansur (1512-1526 M). Pada tahun 1521, Sultan Mansur Malamo dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate yang bersekutu dengan Portugal. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah satu kerajaan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (16571689), Tidore berhasil menolak penguasaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Kerajaan Tidore berhasil menuju puncak kejayaannya pada masa Sultan Nuku (1797-1805 M). Pada periode ini, wilayah kekuasaannya telah berkembang ke sebagian besar Pulau Halmahera, Pulau Buru, Pulau Seram, dan kawasan Papua bagian barat. Kehidupan politik Kerajaan Tidore dapat dikatakan mapan dengan struktur pemerintahan yang telah teratur. Sultan Nuku juga dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda.

Baca Juga:  Target Kenaikan Investasi Pariwisata Indonesia

Setelah Sultan Nuku wafat pada 1805, Belanda kembali mengincar Tidore karena kekayaannya. Pada akhirnya, Kerajaan Tidore jatuh ke tangan Belanda dan kemudian bergabung dengan NKRI ketika Indonesia merdeka. Peninggalan Kesultanan Tidore yang masih berdiri hingga sekarang, yaitu Istana Kerajaan Tidore (Kadato Kie), Masjid Sultan Tidore, Benteng Torre, dan Tahula.

Sultan Tidore ke-37 sekarang adalah Sultan Husain Syah yang menjabat sejak tahun 2014, yang juga merupakan anggota DPD RI asal Maluku Utara sejak tahun 2019.

 

  1. Kesultanan Samawa Sumbawa

Pada abad ke-16, Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Kerajaan Gowa tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah, yaitu adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam.

Pada 1674 dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Saat itu rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk agama Islam. Penguasa pertama dari Dinasti Dalam Bawa adalah Mas Bantan bergelar Sultan Harunnurrasyid I (1674–1702), Putra Raden Subangsa (Pangeran Banjar) hasil pernikahannya dengan Amas Penghulu binti Maja Paruwa. Mas Bantan Sultan Harunnurasyid I kemudian digantikan oleh puteranya, Pangeran Mas Madina, namun tidak lama. Pada tahun 1732, kekuasaan atas Kesultanan Sumbawa kembali dipegang oleh keturunan Mas Bantan (Sultan Harunurrasyid), yaitu Sultan Muhammad Kaharuddin I (17321758), anak dari Dewa Maja Jereweh.

Setelah Sultan Kaharuddin I wafat, kekuasaan diambil alih oleh istrinya, I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultanah Siti Aisyah yang merupakan anak Sultan Muhammad Jalaluddin Syah.

Meski sempat jatuh ke tangan VOC, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (18331931), dibangun Istana Dalam Loka Samawa. Pada zaman pemerintahannya pula menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi. Ketika Perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi-organisasi Islam di Sumbawa seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad mulai mengatur siasat. Sementara itu, tiga kerajaan di Pulau Sumbawa mengambil sikap tegas menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda.

Kesultanan Samawa Sumbawa kini dipimpin oleh Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin IV (Daeng Ewan) bin Sultan Muhammad Kaharuddin III dengan Siti Khodijah Daeng Ante Ruma Paduka binti Sultan Salahuddin Makakidi Agama Raja Bima XIII sejak tahun 2011 hingga sekarang.

 

  1. Kesultanan Buton

Kerajaan Buton berdiri setelah kedatangan orang-orang Melayu ke wilayah Buton pada akhir abad ke-13 M. Pada tahun 1332 M, komunitas Melayu dan komunitas adat yang sudah ada sebelumnya bercampur sehingga berdirilah Kerajaan Buton. Raja pertama kerajaan Buton adalah seorang perempuan bergelar Rajaputri Wa Kaa Kaa.

Sebelum menjadi kerajaan Islam, Buton dipengaruhi ajaran Hindu dan Buddha dari Kerajaan Majapahit. Dalam kitab Negarakertagama, disebut dengan Pulau Butuni yang merupakan salah satu wilayah taklukan Gadjah Mada.

Agama Islam berkembang pesat di Buton ketika pemerintahan Sultan Murhum. Pada masa pemerintahan Islam inilah Kesultanan Buton mulai diakui di Nusantara, bahkan hingga ke jaringan kekhalifahan dunia. Sultan Buton pun dianugerahi gelar Khalifatul Khamis oleh Kekhalifahan Utsmaniah (Ottoman) dan bergelar Sultan Muhammad Isa Khalifatul Khamis.

Kesultanan Buton mempunyai benteng pertahanan yang terluas di dunia. Benteng tersebut dibuat pada 1634, masa pemerintahan Sultan La Buke dengan panjang 2.740 meter untuk melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Benteng dilengkapi 16 bastion atau menara pengintai dan 12 pintu gerbang.

Kesultanan Buton pernah mempunyai hubungan baik dengan VOC. Namun pada 1637 hubungan keduanya memburuk dan menimbulkan perang. Tapi, benteng Kesultanan Buton rupanya terlalu kuat untuk VOC. Perang kembali terjadi pada 1752, 1755, dan 1776, karena VOC melakukan kelicikan dalam perdagangan rempah-rempah. Di bawah pimpinan Sultan La Karambau, Buton berhasil mengatasi Belanda.

Setelah muncul konflik internal, Kesultanan Buton menjadi lemah. Hingga akhirnya saat Indonesia merdeka pada 1945, Kesultanan Buton masuk dan bergabung dalam pemerintahan Indonesia. Saat ini, Kesultanan Buton masih memiliki pemimpin yakni Sultan Buton ke-40, Paduka Yang Mulia La Ode Muhammad Izzat Manarfa. * Dino/Lina

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA