Search

Belajar tentang Makna Pegon

Tahukah Anda hasil peradaban pesantren yang terus hidup subur (a living tradition) selama lima abad terakhir? Bahkan ia insyaallah akan terus hidup hingga akhir masa. Pegon adalah jawabnya! Tradisi menulis dengan aksara Arab yang dimodifikasi (Arabic modified script) ini tumbuh sejak abad ke-16 dan terus berkembang dengan segala kompleksitasnya hingga abad ke-21.

Dari mana kata pegon berasal dan apa maknanya? Sebelumnya, saya perlu mendefinisikan apa pegon itu. Bagi saya definisi pegon di masa sekarang adalah sistem penulisan yang menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi dalam bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Indonesia. Makna ini jauh lebih luas dari makna yang umumnya diberikan pengkaji manuskrip nusantara yang membatasi pegon dalam tiga bahasa daerah, Jawa, Sunda, dan Madura.

Padahal dalam tradisi Bali juga muncul aksara pegon (lihat gambar 1). Dalam perkembangan sekarang, terutama di masyarakat tradisional berbasis pesantren, pegon juga digunakan untuk menuliskan dalam bahasa Indonesia. Maka sudah selayaknya keduanya dimasukkan dalam cakupan definisi pegon (lihat gambar 2).

Baca Juga:  Peristiwa Mi’raj, Turunnya Perintah Shalat Lima Waktu

Kemudian kembali ke pertanyaan awal. Dari mana kata pegon berasal? Bila kita lihat lahirnya manuskrip pegon yang dimulai paling tidak sejak abad ke-16, maka kata pegon hendaknya dari bahasa Jawa Kawi (bahasa Jawa Kuno). Hal ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli, misalnya Mas Ngabehi Kramaprawira, Kawruh Sastra Pegon sebagaimana dikutip dalam Titik Pudjiastuti (2003) yang mengatakan bahwa pegon berasal dari kata “pego” dalam bahasa Kawi.

Dalam bahasa Kawi, “pego” memiliki beberapa arti. Dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Zoetmulder (dan Robson 2006) mengatakan bahwa pego adalah kata yang merupakan kata dasar dari apégo yang berarti “juga”. Dia menyebutkan contoh dalam frasa berikut “Pega ning citta lali awetu tangis”.

Definisi lainnya yang diberikan oleh Zoetmulder adalah “(mengucapkan) dengan kesukaran ?”. Seperti terlihat di sini, penulisnya tidak begitu yakin dengan pemaknaan pegon dengan “sulit mengucapkan”. Namun, sayangnya makna ini telah ditetapkan sebagai satu-satunya makna “pego” oleh sebagian pengkaji dan dipercaya tanpa kritik, sehingga dianggap sebagai kebenaran satu-satunya. T.E. Behrend (1996) dalam “Textual Gateways: The Javanese Manuscript Tradition” bahkan menafsirkannya lebih jauh dengan foreign sounding (“asing diucapkan”).

Baca Juga:  Doa Ketika Hendak Menuju Wukuf di Arafah

Padahal “pego” juga memiliki arti lain. Dalam kamus kawi yang disusun C.F. Winter (1994) dengan berkonsultasi kepada pujangga santri R.Ng. Ranggawarsita, disebutkan bahwa makna “pego” adalah “kukus, sumpeg, peteng.”. Maksudnya yaitu, sempit, penuh (lawan dari longgar), dan gelap. Bila kita terapkan arti ini pada frasa di atas, maka artinya akan lebih jelas , yaitu “Pikirannya penuh (sangat gelisah, hingga) lalai mengeluarkan air mata.”

Arti kata ini dalam bahasa Kawi Bali berubah dan berbaur dengan makna konotatifnya, yaitu sedih dan risau. Lihat misalnya pada Kamus Kawi Bali (1990), di dalamnya “pego” diartikan sesek (sempit), lek (sedih), engsek (sedih).

Ada satu hipotesis mengapa aksara ini diambil dari kata yang berarti peteng (gelap) dan sumpeg (penuh atau tidak longgar). Yaitu, jika kita melihat sebuah manuskrip pegon, maka akan tampak bahwa aksara ini sering kali memenuhi halaman yang ditulisi, sehingga menjadikannya “gelap”. Dia juga sering kali ditulis dan ditempatkan berdesakan di antara dua baris aksara lainnya di halaman yang sama. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi utama pegon untuk memberikan terjemahan antar baris (interlinear translation) teks-teks berbahasa Arab.

Baca Juga:  Perbanyak Puasa Sya’ban Sebagai Persiapan Menyambut Ramadhan

Hal ini berbeda dengan teks beraksara Jawa hanacaraka yang tidak perlu diterjemahkan sehingga dalam manuskrip hanacaraka kertasnya lebih “terang”, tidak penuh, dan aksaranya tidak “berdesakan”. Lihat perbandingan dua manuskrip di bawah ini.

Usia pegon telah mencapai masa lima abad sejauh ini. Pertanyaan yang muncul adalah akankah doa saya di awal tulisan ini akan terkabul? Akankah pegon terus bertahan di masa ketika sebagian pesantren, meskipun kecil, telah “berani” meninggalkannya?

 

Terkini

Kiai Bertutur

E-Harian AULA