Mendapat hidayah dari Allah SWT, memang tidaklah mudah. Namun dengan niat yang ikhlas, dan keinginan kuat, H Mohammad Yusuf Bambang Sujanto akhirnya memutuskan memeluk agama Islam. Bagaimana kisah dan perjuangannya menjadi pioneer Masjid Cheng Hoo. Berikut ulasannya?
Pengalamannya bekerja keras dari bawah, dengan modal jujur, kerja keras, ulet dan tidak kenal putus asa, mengantarkan H Mohammad Yusuf Bambang Sujanto menuju kesuksesan. Karir putra sulung dari pasangan alm. Noto Soehardjo Wibisono dan almh. Hartini Wibisono ini, tak lepas dari geblengan yang diterapkan orang tuanya.
Sejak berusia 8 tahun, Bambang sudah diajarkan orang tuanya untuk mandiri. Bambang kecil ini digembleng untuk mencari nafkah sendiri atau mandiri. Tak pelak, dirinya pernah menjadi tukang geledhek barang hasil produksi pabrik semprong asal Kenjeran Surabaya. “Masih kecil, saya sudah menjadi kuli pelabuhan di Tanjung Perak,” katanya.
Dengan kejujuran dan ketekunannya dalam bekerja, Bambang pun dipercaya oleh keluarga untuk menjalankan bisnis keluarga yakni UD Kita Group pada tahun 1972-1974. Kesuksesan inipun terus berlanjut saat dirinya dipercaya untuk memimpin perusahaan ternama, yakni PT Kedawung Setia Industrial (KDSI) Tbk. Berkat sentuhan tangannya, perusahaan yang berkantor pusat di Jalan Mastrip 862, Warugunung-Karangpilang, Surabaya, pada tahun 1975.
Namun semua itu tidak lepas dari didikan Alm. Probosutedjo dan Agus S. yang pernah menangani Kedawung Subur. Saat itu Agus mengatakan, kalau Bambang mampu berdiri sendiri, maka Bambang Sujanto boleh menangani sendiri.
Berkat persetujuan tersebut, akhirnya Bambang pada tahun 1979 memutuskan untuk mendirikan perusahaan sendiri. Ada tujuh perusahaan di bawah pimpinannya, bernaung dalam Kita Group. “Sekarang tinggal tiga perusahaan saja yang saya pimpin di Kita Group”, kata suami Hj Tien Indrawati Sujanto ini.
Tiga perusahaan itu adalah PT Kedawung Setia Industrial Tbk. Perusahaan ini memproduksi panci untuk kebutuhan rumah tangga. Kemudian PT Kedawung Setia Corrugated Carton Box Indonesia dan Malang Regent’s Park Hotel. “Karyawan saya 2.000 orang, dan moto saya adalah “MASKOTS” yakni Mandiri, Aktif, Selektif, Komunikatif & Kreatif, Obyektif, Tanggung Jawab & Terampil, Sukses & Sejahtera,” terang Bambang saat ditemui wartawan Majalah Aula di kantornya, Gedung Andhika, Jl. Simpang Dukuh, Surabaya.
Dapat Hidayat Masuk Islam
Perjalanan Bambang dalam mengaruhi kehidupan ini memang tidaklah mudah seperti yang dibayangkan semua orang. Terlebih lagi dalam hal urusan agama. Pria yang memiliki nama Tionghoa Lioe Ming Yen sebelumnya penganut agama Buddha.
Namun berkat dorongan keluarga dan teman-temannya, pria kelahiran Pagotan, Madiun, 13 Oktober 1947 ini, akhirnya mendapat hidayat dan akhirnya bersyahadat memeluk agama Islam, pada Februari 1980. “Kedua orang tua saya dan saudara-saudara saya dan teman-teman muslim sangat mendukung. Jadilah muslim yang baik dan berhentilah jadi play boy,” cerita Bambang menirukan ucapan ibunya.
“Saya sangat bahagia dan merasa terberkati setelah memeluk Islam,” lanjut bapak empat orang anak ini.
Seminggu pasca dirinya sebagai mualaf, Bambang mendapat cobaan sangat berat. Putra sulungnya, Rachmat Widodo (18) yang kuliah di Boston University, USA yang juga telah menyatakan diri sebagai mualaf mengalami kecelakaan di Boston, dan akhirnya meninggal dunia. Kejadian tersebut terjadi pada 14 Februari 1980.
“Saya schock berat, tetapi saya sadar, bahwa semua ini adalah cobaan dari Allah semata. Agar saya tetap tabah menghadapi cobaan berat ini. Ternyata musibah itu ada hikmahnya, semua urusan anak saya, mulai di Amerika hingga ke pemakaman di Pasuruan, semuanya berjalan lancar. Banyak keluarga, teman, sahabat dan para pejabat membantu saya. Saya sangat terharu dengan kepedulian teman-teman muslim,” cerita Bambang.
Pendiri Masjid Cheng Hoo
Sejak musibah itu terjadi, Bambang semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mantap menjalankan ajaran Islam. Ia bercita-cita ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk umat Islam di Indonesia. Hingga akhirnya dirinya berkomitmen untuk berjihad melalui Masjid.
Bambang bersama keluarga pun sepakat menghibahkan sebidang tanah seluas 3.070 M2 untuk pembangunan Masjid Cheng Hoo pertama di Jl. Gading No, 2 Surabaya. Keseluruhan pembangunan masjid Cheng Hoo pertama di Indonesia itu, menelan dana sekitar Rp 3,3 miliar dan diresmikan pada 28 Mei 2003 oleh Menteri Agama RI, Prof Dr Said Agil Husain Al Munawar MA.
Pembangunan masjid Muhammad Cheng Hoo ini kemudian berlanjut di beberapa daerah di Jawa Timur dan sejumlah daerah di Indonesia. Di antaranya, Pandaan (Pasuruan), Banyuwangi, Jember, Gua China Malang, Palembang, Purbalingga, Samarinda, Batam, Gowa dan Tanjung Bunga (Sulsel). Dan sisanya dalam tahap perencanaan dan penyelesaian. “Sekarang sudah ada 19 Masjid Cheng Hoo di seluruh Indonesia,” kata Bambang.
Seperti diketahui, pemilihan nama Masjid Muhammad Cheng Hoo ini diambil dari seorang Laksamana terkenal asal Tiongkok yang melakukan ekspedisi bersejarah di berbagai benua, yakni Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Salah satunya Indonesia menjadi tempat singgah Laksamana Cheng Hoo.
Dalam misi pelayarannya, Laksamana Cheng Hoo juga menyebarkan Agama Islam kepada penduduk setempat yang ia kunjungi. “Nah, nama masjid ini sebagai bentuk penghormatan kepada Cheng Hoo yang beragama Islam,” tuturnya.
Cheng Hoo bukan hanya menyebarkan Islam, tapi juga membawa misi berdagang dan menjalin persahabatan. Oleh sebab itu, arsitek Masjid Cheng Hoo di seluruh Indonesia terlihat unik. “Masjid ini arsitekturnya dominan dengan ciri budaya China, tetapi masih ada unsur Jawa dan Islam. Masjid ini terlihat mencolok dengan warnanya yang cerah, merah, kuning dan hijau, identik sekali dengan bangunan khas China,” katanya.
Sedangkan bentuk dan ornamen atap merupakan perpaduan budaya China dan Jawa. Nuansa Islami ada pada kaligrafi lafadz Allah dan kalimat Tauhid yang terukir pada dinding Masjid. “Ini bagian dari amal dan shodaqoh saya,” pungkasnya. * Riamah H