Keberadaan budaya sangat kental bagi perjalanan sebuah bangsa. Penghapusan budaya dan tradisi dinilai berbahaya karena berpotensi menghilangkan identitas suatu bangsa.
Penegasan itu disampaikan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU, KH Agus Sunyoto, saat menjadi narasumber Webinar dengan tema “Seni dan Tradisi Masyarakat Jawa Timur di Bulan Ramadan” yang digelar Badan Kebudayaan Nasional (BKN) DPD PDIP Jatim, Jumat (9/4/2021) malam.
Ia mengatakan, gerakan Islam Nusantara yang saat ini bergulir sejatinya adalah untuk memperkuat tradisi budaya lokal.
“Kita harus menguatkan tradisi budaya lokal. Apalagi saat ini, tradisi digulirkan sebagai bagian dari bidah dan sesat su sesat dan bidah oleh kelompok yang berjaring dengan isu globalisasi,” ujarnya.
Ditambahkan, kesenian dan tradisi di Indonesia tidak lepas dari peran agama, termasuk Islam. Misalnya tentang tradisi unjung-unjung yang dilakukan anak-anak di saat Idul Fitri.
“Ini tradisi lama. Anak-anak diberi angpao. Tradisi ini berasal dari leluhur muslim di Nusantara yang berasal dari China,” jelas Kyai Agus.
Sementara itu, Sekretaris DPD PDI Perjuangan Jawa Timur Sri Untari Bisowarno yang juga menjadi narasumber menyebut, seni dan tradisi masyarakat Jawa Timur di bulan Ramadan, tak bisa dilepaskan dari sejarah para wali, salah satunya adalah Sunan Kalijaga.
“Saya sangat mengagumi beliau (Sunan Kalijaga, red), karena di dalam diri beliau memiliki artikulasi pembahasaan budaya seperti yang ada dan diinginkan oleh masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat Jawa,” ujarnya.
“Melihat bagaimana ketika Islam masuk ke Indonesia dengan kehalusan seni yang dibangun oleh Sunan Kalijaga mampu menghasilkan banyak karya seni, salah satunya Lir-Ilir yang merupakan sanepan hadirnya Islam di Indonesia. Itu salah satu yang dijadikan oleh Sunan kalijaga untuk media dakwah,” imbuhnya.
Selain melalui lagon dan kidung, imbuh Untari, Sunan Kalijaga juga menciptakan tradisi unik di bulan Ramadan, yakni dimulai dengan nyekar.
“Sebelum masuk Ramadan, kita nyekar untuk mendoakan yang telah meninggal agar Allah mengampuninya,” katanya.
Kemudian ada juga megengan (bahasa Jawa) yang berarti menahan. Artinya, saat memasuki Ramadan, manusia diharapkan bisa menahan nafsu diri, bukan hanya menahan dahaga dan lapar.
“Siapa yang mampu menahan nafsunya, maka dia akan lulus,” tandasnya.
Tak kalah menarik, salah satu tradisi masyarakat Jawa Timur saat Ramadan adalah membangunkan orang untuk sahur dengan cara berkeliling kampung dengan musik patrol.
“Hikmahnya, beragama itu harusnya menghaluskan budi pekerti kita. Beragama itu tidak berteriak, tidak riya dengan cara berpakaian glamour, tidak kemudian membuat kita menjadi seseorang yang paling baik di dunia, tapi beragama itu mawas diri, introspeksi diri, rendah hati, tidak sombong. Karena kalau kita sudah tau Allah yang Maha Besar, maka kita tidak ada apa-apanya,” pungkas Ketua Fraksi PDIP DPRD Jatim ini. (*/red)