Jakarta, AULA – Ketua Harian PBNU, Robikin Emhas mengatakan, Nahdlatul Ulama berkomitmen untuk terus menjaga keharmonisan di Indonesia, seraya melawan diskriminasi etnis.
“Islam hadir tidak hanya diperuntukkan sebagai jalan kebahagiaan dunia akhirat serta perilaku umat Islam semata, tapi Islam mengatur juga bagaimana cara bergaul dengan penganut agama lain, juga yang berbeda etnis dan agama,” tuturnya.
“Kesanggupan umat Islam untuk membangun harmoni dengan pihak yang berbeda apakah mayoritas atau minoritas, itulah yang antara lain umat Islam berperilaku benar atau tidak,” demikian pendapat Robikin.
Di tengah perayaan Imlek, para santri Nahdlatul Ulama menyelenggarakan diskusi untuk mengkaji bangkitnya politik etnis dan kebencian, serta bagaimana mengantisipasinya. Nahdlatul Ulama berkomitmen untuk menjaga harmoni di Indonesia.
Pandangan ini menjadi inti dari diskusi daring “NU & Tionghoa: Merayakan Imlek ala Santri” pada Minggu 14 Februari 2021 malam tadi. Agenda ini diselenggarakan kolaborasi antata Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama United Kingdom (PCINU UK), Aseng.id, dan 164 Channel/Media PBNU serta Penerbit Buku Kompas dan NUPro.
Diskusi daring ini dipandu host Munawir Aziz (sekretaris PCINU UK) dan moderator Novi Basuki (Mahasiswa Doktoral Sun Yat Sen University China). Hadir dalam agenda ini Ketua PBNU KH. Robikin Emhas dan beberapa narasumber M Nabil Haroen (Ketua Umum PP Pagar Nusa Nahdlatul Ulama), Richard Tan (Wasekjen PERPIT/Waketum PSMTI) dan Soe Tjen Marching (dosen senior SOAS University of London).
Diskusi ini juga sekaligus soft launching buku “Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebusayaan” karya Munawir Aziz dan “Islam di China: Dulu dan Kini” karya Novi Basuki.
Pada kesempatan itu, Nabil Haroen menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama sejak awal posisinya jelas, yakni selalu berjuang untuk kemaslahatan bersama juga membela kelompok yang terpinggirkan.
“NU punya tujuan besar untuk berjuang untuk kemaslahatan bersama (mashlahah ‘ammah), juga komitmen penting untuk melindungi yang lemah, membersamai yang terpinggirkan. Sejak awal, para kiai berjuang untuk itu, di samping tujuan-tujuan pendidikan dan dakwah.
“Di samping itu, NU juga melawan jika terjadi ketidakadilan dan kesenjangan. Gus Dur telah memberi contoh penting dalam membela Tionghoa. Juga, Kiai Said Aqil Siroj juga terus menyampaikan seruan agar tidak ada kesenjangan ekonomi di Indonesia.” terang Nabil Haroen yang juga anggota Komisi IX DPR RI.
Sementara, Richard Tan berterima kasih atas ruang dan dukungan yang diberikan oleh NU terhadap warga Tionghoa.
“Apa yang disampaikan Kiai Robikin selaku Ketua PBNU memberi lampu sorot yang terang bagi kita semua, agar melangkah dengan derap kaki yang kokoh. Bagi saya, banyak teman-teman Tionghoa yang peduli dan merasa dekat dengan NU,” demikian pendapat Richard Tan.
Tan juga menyampaikan bahwa kita perlu percaya dengan pemerintah, tapi perlu mengkritisi kebijakan yang tidak pas atau merugikan warga. Ia juga sepakat pentingnya melawan politik kebencian.
Soe Tjen Marching mengajak agar publik membaca kembali karya-karya pengetahuan yang dapat menyegarkan ingatan publik atas Tionghoa di Indonesia. “Narasi atas Tionghoa di sejarah kita belum seimbang. Maka, perlu baca buku-buku yang ditulis serius untuk memberi penyegaran kembali bagaimana posisi orang-orang Tionghoa dalam realitas keindonesiaan saat ini. Silakan baca buku karya Munawir Aziz dan Novi Basuki ini,” ajak Soe Tjen.
Dosen senior SOAS University of London itu juga menyampaikan betapa penting untuk mengkritisi sejarah pada masa lalu agar kontekstual untuk sekarang. Ia juga mengajak agar membuka ruang-ruang diskusi lintas kelompok yang lebih luas, agar kita semua tidak terjebak pada politik kebencian. (rn)