SINGAPURA – Kiai Ma’ruf Amin mengungkapkan, operasi terorisme atas nama agama, adalah contoh buah paham keagamaan ekstrem, yang daya ancamnya bersifat transnasional. Islam Wasathiyah bukan hanya concern muslim Indonesia, tapi juga penting menjadi concern kerja sama antar negara, termasuk Singapura.
“Baik melalui kebijakan negara maupun partisipasi masyarakat, termasuk dunia universitas, melalui berbagai riset dan pendidikan. Berbagai hal yang dapat memicu bangkitnya gerakan ekstrem, baik kanan maupun kiri, yang dapat mengancam pengarusutamaan wasathiyah Islam, perlu diantisipasi dan dicegah bersama-sama,” tutur Rais Am PBNU 2015-2018 dan Ketua Umum MUI 2015 – 2020.
Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin mengungkapkan hal itu dalam Kuliah Umum Indonesian Leaders Public Lecture Series, di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Techlogical University (RSiS – NTU) Singapore, Rabu 17 Oktober.
Pada bagian lain, Kiai Ma’ruf Amin menjelaskan, Politik Islam di Indonesia terus menerus memperlihatkan akomodasi yang makin besar pada aspirasi politik Islam, dalam berbagai produk kebijakan, legislasi, regulasi, serta fasilitasi negara.
“Berbagai layanan publik keagamaan terfasilitasi. Seperti model penyelesaian sengketa keagamaan lewat peradilan atau arbitrase, layanan haji, zakat, wakaf, perbankan Islam, lembaga keuangan non-bank berbasis Islam, jaminan produk halal, telah tersedia payung regulasi dan kelembagaannya. Puncak implementasi Syariat dijalankan di Aceh secara khusus, yang memungkinkan penerapan syariat Islam secara total.
“Namun semua dinamika itu dipandang dengan tutup mata. Pandangan bahwa pemerintahan Indonesia itu anti Islam, thaghut, tetap digaungkan sepanjang era reformasi, memanfaatkan iklim kebebasan ekspresi dan kemudahan lalu lintas informasi akibat kemajuan teknologi. Puncak ekstrimitas itu makin genting pada 2014, ketika muncul ISIS di Suriah dengan pengaruh kuat dan tak-terduga-duga di Indonesia.
“Maka itu, sejumlah ormas Islam di Indonesia mengonsolidasi berbagai gerakan moderasi Islam yang kompatibel dengan demokrasi dan negara-kebangsan, dengan aksentuasi masing-masing. Sebelum MUI menetapkan paradigma Islam Wasathiyah yang menekankan anti ekstrimitas, dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, melakukan konsolidasi serupa, dalam muktamar masing-masing yang hampir bersamaan,” tutur Kiai Ma’ruf Amin.
Dalam Muktamar NU 2015 mempromosikan Islam Nusantara yang menekankan akomodasi pada kearifan dan inovasi lokal, sebagai respons atas berbagai gerakan transnasional yang tidak bersahabat dengan lokalitas. Muktamar Muhammadiyah 2015 mencanangkan Islam Berkemajuan, yang menekankan concern pada daya saing dan produktivitas umat Islam, dan tak lagi menyoal konsensus nasional.
Munas MUI, Muktamar NU, dan Muktamar Muhammadiyah, berlangsung berdekatan pada Agustus 2015 –bulan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Titik temu mereka, tidak lagi berpikir mengotak-atik konsensus nasional, berupa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. (red)